Balanced Scorecard Strategy
June 16, 2010 Leave a comment
Oleh: Harry Andrian Simbolon, SE., M.Ak., QIA
Manajemen strategi adalah seperangkat keputusan dan tindakan manajemen yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Wheelen dan Hunger (2002:9) membagi tahapan dalam proses manajemen strategi menjadi empat yaitu analisis lingkungan (environmental scanning), formulasi strategi (strategy formulation).
Tahapan dalam manajemen strategi membantu manajemen dan semua personil perusahaan untuk menjalankan perusahaan secara terarah karena semua tindakan didasarkan atas analisis lingkungan internal dan eksternal yang dirumuskan menjadi misi, tujuan, strategi dan kebijakan untuk kemudian diimplementasikan pada semua tingkatan perusahaan melalui penyusunan program, anggaran dan prosedur. Selanjutnya, dilakukan evaluasi dan pengendalian sebagai feedback untuk menjamin bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan.
Karena perusahaan didirikan untuk terus berjalan (going concern) dan bertahan (sustain) maka manajemen strategi menjadi suatu hal yang sangat penting bagi setiap perusahaan terutama dalam lingkungan bisnis dengan persaingan yang sangat ketat dan global saat ini. Manajemen puncak yang mengendalikan perusahaan tidak bisa lagi membuat perencanaan hanya untuk jangka pendek atau tahunan tetapi harus membuat perencanaan jangka panjang atau perencanaan strategis agar dapat mengantisipasi perubahan yang terjadi.
Riset yang dilakukan telah membuktikan bahwa perusahaan yang menerapkan manajemen strategi lebih sukses dibandingkan perusahaan yang tidak menerapkannya (Andersen:2000, Miller dan Cardinal:1994, Pekar dan Abraham:1995). Sementara itu, pentingnya perencanaan strategis juga telah dibuktikan dari hasil survey global yang dilakukan oleh Bain & Company pada tahun 2005 (Miller, 2006:17) yang menunjukkan bahwa dari 25 alat bantu manajemen yang digunakan oleh perusahaan.
Balanced Scorecard sebagai Sistem Manajemen Strategi
Walaupun perencanaan strategis atau formulasi strategi sudah sangat bagus dan mungkin sempurna di atas kertas, sering terjadi hasilnya tidak seperti yang diharapkan dan bahkan mungkin sangat mengecewakan. Hal ini disebabkan oleh karena buruknya implementasi. Wheelen dan Hunger (2002:192) mengibaratkan formulasi strategi dan implementasi strategi sebagai 2 sisi mata uang yang tidak akan berguna jika salah satunya tidak ada.
Selanjutnya Wheelen dan Hunger menjelaskan bahwa implementasi strategi pada dasarnya adalah membuat strategi menjadi aksi (to make the strategy action-oriented) melalui penyusunan program, anggaran dan prosedur. Masalahnya, seringkali program, anggaran dan prosedur yang dibuat tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan kinerja yang akan diukur sebagai hasil akhir dari implementasi strategi sehingga personil yang terlibat dalam implementasi strategi tidak dapat mengarahkan tindakannya untuk pencapaian tujuan akhir.
Kaplan dan Norton (1996) muncul dan menawarkan konsep balanced scorecard (BSC). Pada awalnya BSC digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur kinerja perusahaan dengan memperluas ukuran kinerja dari hanya sekedar kinerja keuangan menjadi seperangkat ukuran kinerja yang komprehensif yang meliputi kinerja keuangan dan non-keuangan dengan empat perspektif yaitu perspektif keuangan (financial perspective), perspektif pelanggan (customer perspective), perspektif proses bisnis internal (internal business process perspective) dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth perspective). Namun selanjutnya peran BSC lebih diperdalam lagi yaitu untuk menerjemahkan misi dan strategi organisasi ke dalam tindakan nyata (translating strategy into action) yang didasarkan dan dihubungkan secara langsung dengan ukuran kinerja dari keempat perspektif tersebut sehingga BSC berkembang menjadi suatu sistem manajemen strategi yang berfungsi sebagai alat untuk merumuskan strategi, mengimplementasikan strategi dan mengevaluasi hasil dari implementasi strategi.
Atkinson et al. (1997) mengakui bahwa balanced scorecard (BSC) merupakan pengembangan akuntansi manajemen yang paling signifikan. Konsep dasar BSC bahwa keempat perspektif BSC memiliki hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (cause-and-effect relationship) sangat logis dan menggambarkan kondisi bisnis yang sesungguhnya. Kita tidak dapat menyangkal bahwa peningkatan dan pengembangan keahlian karyawan (perspektif pembelajaran dan pertumbuhan) akan meningkatkan kualitas proses operasi (proses bisnis internal) sehingga meningkatkan pula pelayanan kepada pelanggan (perspektif pelanggan) dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangan (perspektif keuangan).
Hubungan kausal dalam BCS ini digambarkan melalui peta strategi (strategy map) yaitu gambaran visual dari hubungan kausal di antara komponen strategi perusahaan (Kaplan dan Norton, 2004: 9). Peta strategi menempatkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan pada tingkatan paling bawah dan menjadi dasar bagi pencapaian perspektif proses bisnis internal di atasnya. Selanjutnya, perspektif proses bisnis internal akan menjadi dasar bagi pencapain perspektif pelanggan di atasnya yang pada akhirnya akan menjadi dasar bagi pencapaian perspektif keuangan sebagai puncaknya.
Menciptakan Sinergi Perusahaan dengan Balanced Scorecard
Masalah lain dalam implementasi strategi adalah seringnya terjadi ketidakselarasan antara perusahaan (corporate), unit bisnis (business units) dan unit pendukung (support units). Padahal kondisi yang ideal agar implementasi strategi dapat berjalan dengan baik adalah adanya keselarasan atau sinergi di antara semua pihak yang ada di dalam perusahaan. Artinya semua pihak tersebut berada di rel yang sama untuk mencapai tujuan yang sama.
Analogi “delapan orang pendayung perahu” yang dikemukakan oleh Kaplan dan Norton (2006:1) menjadi gambaran sederhana bagaimana suatu ‘organisasi’ yang dijalankan oleh orang-orang yang bersinergi akan mencapai tujuannya secara optimal (perahu sampai ke tujuan lebih cepat) dibandingkan jika dijalankan oleh orang-orang yang tidak bersinergi (perahu lambat sampai ke tujuan atau bahkan hanya berputar-putar di tempat).
BSC dapat menjadi alat untuk menciptakan sinergi perusahaan dengan cara menyelaraskan (align) keempat perspektif dalam BSC pada tingkat unit bisnis dengan perspektif yang sama pada tingkat perusahaan. Untuk itu, tujuan dari keempat perspektif BSC tersebut harus dapat menjawab pertanyaan berikut (Kaplan dan Norton, 2006:7):
- Financial:
How can we increase the shareholder value of the business units in our strategic business unit (SBU) portfolio?
Bagaimana kita dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan portofolio unit bisnis?
- Customer:
How can we share the customer interface to increase total customer value?
Bagaimana kita dapat berbagi pelanggan untuk meningkatkan nilai pelanggan secara keseluruhan?
- Internal Business Process:
How can we manage SBU processes to achieve economies of scale or value-chain integration?
Bagaimana kita dapat mengelola proses di unit bisnis secara strategis untuk mencapai economies of scale atau integrasi value chain?
- Learning and Growth:
How can we develop and share our intangible assets?
Bagaimana kita dapat mengembangkan dan berbagi aktiva tidak berwujud?
Jika strategi perusahaan sudah dapat disinergikan dengan strategi unit bisnis pada keempat perspektif tersebut maka tujuan unit bisnis akan mendukung pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan sehingga nilai yang diperoleh perusahaan akan lebih besar dibandingkan jika unit bisnis hanya mengejar tujuan unit bisnisnya masing-masing yang mungkin justru akan menurunkan nilai perusahaan secara keseluruhan.
Namun sinergi yang sesungguhnya tidak berhenti sampai di sini. Kesuksesan unit bisnis sebagai unit operasional dalam perusahaan tidak akan tercapai jika tidak didukung oleh unit pendukung. Unit pendukung adalah unit di dalam perusahaan yang tidak terlibat secara langsung dalam proses menghasilkan produk atau menciptakan nilai bagi pelanggan namun berperan memperlancar pelaksanaan aktivitas unit operasional. Oleh karena itu, sinergi selanjutnya harus dilakukan untuk menyelaraskan strategi perusahaan dan unit bisnis dengan strategi unit pendukung. Bab selanjutnya akan membahas masalah ini secara mendalam.
Posisi Unit Pendukung pada Value Chain dan Organisasi Perusahaan
Value chain merupakan suatu rangkaian aktivitas perusahaan yang menciptakan nilai bagi pelanggan. Porter (1988) membagi aktivitas perusahaan menjadi dua kelompok yaitu aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities) yang masing-masing terbagi lagi menjadi aktivitas-aktivitas yang lebih spesifik. Rangkaian aktivitas tersebut saling berinteraksi satu sama lain untuk menciptakan nilai bagi pelanggan yang diwujudkan dalam produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh perusahaan.
Unit pendukung adalah unit-unit yang melaksanakan aktivitas pendukung (support activities) di dalam perusahaan yang secara umum terdiri atas perangkat perusahaan (manajemen, akuntansi, keuangan, perencanaan strategis), sumber daya manusia, pengembangan teknologi dan pengadaan barang. Unit ini menghasilkan jasa yang berguna memperlancar pelaksanaan aktivitas utama (primary activities). Dalam struktur organisasi, unit pendukung ini dapat berada di tingkat pusat (perusahaan) sekaligus di tingkat unit bisnis.
Menarik untuk menyimak ucapan Larry Brady, president direktur FMC Corporation berikut ini (Kaplan dan Norton, 2006:119):
“I doubt that many companies can respond crisply to the question, ‘How does staff provide competitive advantage?’… we have just started to ask our staff departments to explain to us whether they are offering low cost or differentiated services. If they are offering neither, we should probably outsource the function.”
Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa jika unit pendukung tidak dapat menyediakan jasa yang berbiaya rendah atau berkualitas maka bukan hal yang sulit bagi perusahaan untuk meng-outsource fungsi tersebut. Oleh karena itu jika ingin dipertahankan di dalam perusahaan maka unit pendukung harus benar-benar dapat memberi kontribusi bagi peningkatan nilai perusahaan.
Kenyataannya, ini bukanlah hal yang mudah. Input unit pendukung adalah biaya (unit ini biasanya merupakan ‘discretionary expense centers’) namun outputnya biasanya berupa jasa yang tidak berwujud dan tidak dapat dikuantifikasi. Oleh karena itu sulit menentukan ukuran efektivitas dan efisiensi dari unit ini .
Di samping itu, unit pendukung pada umumnya memiliki karyawan atau staf dengan keahlian khusus yang memiliki budaya yang berbeda dengan manajer dan karyawan di unit operasional. Akibatnya mereka sering hanya terpaku di kantor pusat dan terisolasi dari unit operasional. Banyak manajer dan karyawan di unit operasional yang mengeluh bahwa unit pendukung tidak dapat merespon kebutuhan unit operasional dengan baik.
Proses untuk Menyelaraskan Unit Pendukung
Agar dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan nilai perusahaan, unit pendukung harus diselaraskan dengan unit bisnis dan perusahaan. Dengan mengambil contoh 3 fungsi utama di unit pendukung yaitu fungsi sumber daya manusia (SDM), fungsi teknologi informasi (TI) dan fungsi keuangan. Kaplan dan Norton (2006:121) menguraikan 3 tahapan dalam proses penyelarasan unit pendukung seperti dijelaskan berikut ini:
Pertama
Unit pendukung menyelaraskan strateginya dengan strategi unit bisnis dan strategi perusahaan dengan cara menetapkan seperangkat pelayanan strategis yang akan ditawarkan. Langkah untuk menjalankan proses ini adalah:
- Pertama-tama, unit pendukung harus memahami secara jelas strategi unit bisnis dan perusahaan yang dapat dilihat dari peta strategi (strategy maps) dan balanced scorecard unit bisnis dan perusahaan.
- Unit pendukung kemudian menentukan dengan cara bagaimana mereka dapat membantu unit bisnis dan perusahaan mencapai tujuan strategisnya. Misalnya dengan menentukan seperangkat portofolio pelayanan strategis yang dapat membantu implementasi strategi unit bisnis dan perusahaan.
Kedua
Unit pendukung menyelaraskan organisasi internalnya sehingga strategi dapat dijalankan yaitu dengan cara mengembangkan rencana strategis yang menguraikan bagaimana mereka akan mendapatkan, mengembangkan dan memberikan pelayanan strategis mereka kepada unit operasional. Rencana ini menjadi dasar untuk menyusun peta strategi unit pendukung, BSC, inisiatif strategis dan anggaran.
Ketiga
Unit pendukung mengakhiri siklus ini dengan menetapkan ukuran kinerjanya, misalnya dengan menggunakan teknik tingkat pelayanan yang disepakati, umpan balik dari pelanggan internal, rating pelanggan dan internal audit.
Proses penyelarasan unit pendukung ini akan dibahas satu persatu pada bagian berikut ini.
Strategi Unit Pendukung
Strategi yang bagaimanakah yang tepat bagi unit pendukung? Pada prinsipnya, unit pendukung dapat menciptakan keunggulan kompetitif dengan menggunakan strategi yang juga digunakan oleh unit bisnis seperti biaya yang rendah (low cost), kepemimpinan produk (product leadership) atau solusi pelanggan yang menyeluruh (complete customer solution).
Pada umumnya beberapa unit pendukung lebih tepat menggunakan strategi biaya yang serendah mungkin karena jika tidak maka pimpinan perusahaan akan dengan senang hati meng-outsource fungsi tersebut. Strategi kepemimpinan produk biasanya kurang tepat digunakan karena mudah ditiru. Di luar sana sangat banyak provider jasa outsourcing yang siap menawarkan jasanya dengan bentuk/kualitas yang sama atau bahkan lebih baik.
Strategi yang lebih tepat bagi unit pendukung adalah strategi solusi pelanggan atau kedekatan dengan pelanggan (customer solution or customer intimacy strategy). Strategi ini menuntut unit pendukung untuk membangun hubungan kemitraan dengan pelanggan internalnya. Untuk itu dibutuhkan karyawan yang memiliki kompetensi dalam mengelola hubungan dan juga harus dilakukan perubahan budaya yang selama ini dianut oleh para karyawan di unit pendukung yaitu cenderung ekslusif dan mengisolasi diri di tempat persembunyiannya di kantor pusat. Dengan demikian strategi terbaru unit pendukung telah mengalami transformasi dari spesialis fungsional menjadi penasihat dan mitra bisnis yang terpercaya bagi unit operasionalnya.
Menyelaraskan Organisasi Pendukung
Setelah unit pendukung merumuskan strateginya maka strategi tersebut harus diterjemahkan ke dalam peta strategi (strategy map) dan balanced scorecard (BSC) sehingga dapat dikomunikasikan kepada seluruh karyawan di unit pendukung dan kinerja unit pendukung dapat dimonitor berdasarkan pencapaian tujuan dari strategi tersebut.
Dalam beberapa hal, unit pendukung berbeda dengan unit bisnis. Unit pendukung tidak menghasilkan laba tetapi harus membantu unit bisnis untuk menghasilkan laba. Selain itu, unit pendukung tidak memiliki pelanggan eksternal sebagaimana halnya unit bisnis. Unit pendukung hanya memilki pelanggan internal yaitu unit bisnis dan semua karyawan yang mendapatkan manfaat dari jasa/pelayanan yang diberikan oleh unit pendukung. Oleh karena itu, ketika mengembangkan peta strategi dan BSC, unit pendukung menempatkan diri sebagai “bisnis di dalam bisnis” dan pada tingkatan tertinggi harus memiliki tujuan strategis yang sama dengan tujuan perusahaan.
Perspektif keuangan pada peta strategi unit pendukung dibagi menjadi dua komponen yaitu efisiensi dan efektivitas. Efisiensi diukur dari kesesuaian realisasi biaya dengan anggarannya sedangkan efektivitas diukur dari pengaruh atau kontribusi yang diberikan kepada strategi perusahaan. Untuk itu harus didefinisikan tujuan dan ukuran dari scorecard perusahaan yang secara spesifik dihubungkan dengan unit pendukung.
Sering kita temukan beberapa unit pendukung mengembangkan peta strateginya seolah-olah mereka adalah organisasi non-profit sehingga pada tingkat teratas diletakkan perspektif pelanggan sedangkan perspektif keuangan hanya sebagai pelengkap. Seharusnya unit pendukung tetap meletakkan perspektif keuangan pada tingkat teratas karena walaupun hanya sebagai ’pendukung’ unit ini harus ikut berpartsipasi dalam meningkatkan nilai perusahaan.
Pada perspektif pelanggan, unit pendukung harus mempertimbangkan dua kelompok utama pelanggannya yaitu: (1) manajer unit bisnis yang dilayaninya secara langsung dan (2) karyawan atau pihak eksternal yang menikmati jasanya. Unit pendukung harus memahami strategi pelanggannya dan menggunakan keahliannya untuk membantu kesuksesan pelanggannya tersebut.
Selanjutnya, perspektif proses bisnis internal pada unit pendukung harus memperhatikan 3 hal/tema yaitu:
- Pertama: Operasi unit pendukung harus memiliki keunggulan yang membawa kepada pencapaian tujuan efisiensi pada perspektif keuangan. Ukuran yang dapat digunakan adalah biaya per transaksi, kualitas dan waktu respon.
- Kedua: Unit pendukung harus mengelola hubungan dengan pelanggannya misalnya melalui adanya manajer hubungan (relationship manager), rencana yang terintegrasi, kesepakatan pelayanan (service agreements) dan review pelanggan.
- Ketiga: Operasi unit pendukung harus mengarah pada pencapaian tujuan pelanggan dengan cara menyediakan jasa yang menunjang pelaksanaan strategi pelanggannya.
Pada akhirnya, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menggambarkan kebutuhan untuk melakukan pelatihan, pengembangan teknologi dan penciptaan suasana kerja yang kondusif.