DANANTARA: Arsitektur Daya Saing Bangsa
December 24, 2025 Leave a comment
Oleh: Harry Andrian Simbolon., S.E., M.Ak., M.H., Ak., QIA., CA., CPA., CMA., CIBA., CertSF., ASEAN CPA., QCRO
Posisi kompetitif Indonesia saat ini terjun bebas. Menurut World Competitiveness Ranking 2025 dari Institute for Management Development (IMD), Peringkat Indonesia merosot dari 27 menjadi 40. Ini adalah pukulan serius yang tidak boleh diabaikan. Indonesia kini tertinggal dari Malaysia (peringkat 23) dan Thailand (peringkat 30) di kawasan Asia Tenggara. Penurunan 13 peringkat dalam satu tahun merupakan indikator bahwa struktur daya saing nasional memerlukan intervensi mendasar dan komprehensif.
Indonesia memiliki momentum emas meningkatkan daya saing bangsa melalui Danantara. Dengan aset senilai Rp17 triliun, Danantara kini menjadi lembaga investasi terbesar ketujuh dunia. Namun pertanyaannya bukan lagi “apakah Danantara bisa mengelola aset?”, melainkan “dapatkah Danantara mengubah fundamental ekonomi Indonesia agar mampu bersaing di panggung global?”
Jawabannya ada pada Porter Diamond Model yang dikembangkan oleh Michael Porter – framework yang telah terbukti menjelaskan mengapa beberapa bangsa unggul sementara yang lain tertinggal. Dan di sini, Danantara memiliki potensi transformatif yang belum pernah dimiliki lembaga BUMN mana pun sebelumnya.
Diamond Porter: Empat Pilar Daya Saing Bangsa
Michael Porter telah mengajarkan kita bahwa kemakmuran suatu negara diciptakan, bukan diwariskan. Tidak cukup mengandalkan alam yang kaya atau tenaga kerja murah. Keunggulan kompetitif sejati lahir dari empat elemen yang saling memperkuat:
Pertama, kondisi faktor: kualitas infrastruktur, pendidikan, riset, dan teknologi. Kedua, kondisi permintaan: konsumen lokal yang cerdas dan demanding, yang memaksa industri untuk berinovasi. Ketiga, industri pendukung: ekosistem supplier dan partner yang kuat. Keempat, strategi perusahaan dan rivalitas: kompetisi sehat yang mendorong efisiensi dan inovasi.
Saat ini, Indonesia terseok-seok di keempat pilar ini. Tetapi – dan ini yang penting – Danantara adalah alat untuk mengubahnya.
Pilar Pertama: Mengubah Kondisi Faktor
Infrastruktur Indonesia masih penuh lubang. PLN, Pertamina, dan Telkom mengelola jaringan yang menjangkau 287 juta jiwa rakyat Indonesia, namun efisiensi mereka jauh tertinggal dari standar global. Ketika Danantara mengkonsolidasikan aset-aset ini, ia bisa melakukan apa yang tidak pernah bisa dilakukan sebelumnya, yaitu mengarahkan investasi strategis ke infrastruktur digital, energi terbarukan, dan logistik dengan visi jangka panjang.
Bayangkan skenario ini: Danantara tidak hanya mengelola dividen, tetapi secara aktif mengidentifikasi kapabilitas teknologi yang hilang dan menginvestasikan keuntungan kembali ke ekosistem inovasi. Pembentukan Danantara Technology Management (DTM) sebagai pilar ketiga bukan sekedar ide, tetapi ini adalah keharusan.
DTM bisa menjadi instrumen alih teknologi yang terstruktur, dengan mengarahkan BUMN untuk berkontribusi pada trajectory pengembangan teknologi Indonesia sesuai tahapan internasional: dari tahap pasar (market stage) menuju tahap produksi (producer stage). BUMN bukan hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi harus menjadi agen transformasi teknologi.
Pilar Kedua: Menciptakan Permintaan yang Demanding
Konsumen Indonesia masih banyak yang puas dengan produk lokal berkualitas rendah. Namun Danantara bisa mengubah ini melalui BUMN. Ketika Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN dikonsolidasikan, mereka bisa bersama-sama menciptakan ekosistem keuangan yang mendorong inovasi produk. Pertamina bisa menggerakkan industri hilir energi ke teknologi ramah lingkungan. Telkom, Telkomsel, dan Telin bisa membangun infrastruktur digital yang mendukung transformasi industri.
Permintaan yang demanding adalah permintaan dari pemerintah sendiri. Jika BUMN dipaksa untuk memenuhi standar internasional dalam setiap aspek operasi – efisiensi, inovasi, keberlanjutan – mereka akan terpaksa berinovasi. Danantara bisa memposisikan diri sebagai “demanding customer” yang menolak hal biasa-biasa saja.
Pilar Ketiga: Membangun Industri Pendukung yang Tangguh
Indonesia masih lemah dalam industri pendukung. Industri masih banyak mengimpor komponen, supplier lokal masih sedikit, dan ekosistem manufaktur belum terintegrasi. Danantara punya kesempatan untuk mengubah ini.
Pertimbangkan apabila BUMN di sektor energi, transportasi, manufaktur, dan logistik adalah konsumen utama bagi ribuan supplier lokal. Ketika Danantara mengoptimalkan rantai pasokan BUMN, mereka secara otomatis memperkuat industri pendukung. Misalnya, jika Pertamina dan PLN beralih ke energi terbarukan, mereka akan menciptakan permintaan masif untuk panel surya, baterai, dan teknologi energi hijau lokal – yang pada gilirannya menarik investasi dan inovasi.
Danantara bisa menginvestasikan dividen ke startup dan UMKM yang menjadi supplier strategis, menciptakan ekosistem bisnis yang vertikal dan horizontal sekaligus.
Pilar Keempat: Mengelola Rivalitas dan Strategi Kompetitif
Ini adalah pilar paling penting. BUMN Indonesia selama ini tidak bersaing, tetapi mereka dilindungi. Dampaknya adalah mereka tidak berinovasi, tidak efisien, dan tidak produktif. Danantara harus merevolusi cara BUMN berkompetisi.
Pertama, transparansi kinerja. Setiap BUMN harus tahu posisi mereka dibanding kompetitor global. Target Return on Investment (ROI) 10% bukanlah fantasi, itu adalah standar efisiensi global yang harus dicapai. Danantara harus mengubah mental dari “mengelola kerugian” menjadi “mengelola pertumbuhan”.
Kedua, selective competition. Danantara bisa memilih BUMN mana yang berkompetisi di pasar terbuka global dan mana yang melayani kepentingan publik strategis. Tidak semua BUMN harus profitable dalam arti komersial, tetapi semuanya harus efisien dan inovatif.
Ketiga, talent meritokrasi. Danantara harus menarik dan menahan talenta terbaik, bukan berdasarkan koneksi, tetapi kompetensi. Ketika BUMN dipimpin oleh SDM terbaik, strategi dan eksekusi akan berubah radikal.
Model Double Diamond: Melengkapi Porter untuk Konteks Indonesia
Namun, Porter Diamond Model tradisional masih kurang untuk negara berkembang seperti Indonesia. Di sini, Double Diamond Model lebih relevan – yang menekankan pentingnya proses desain sistematis dan pemahaman mendalam sebelum implementasi.
Danantara harus menerapkan pendekatan ini: sebelum mengambil keputusan investasi besar, lakukan kajian mendalam tentang tantangan spesifik di setiap sektor, analisis kompetitif global, dan identifikasi kapabilitas apa yang masih hilang. Jangan asal investasi, setiap investasi harus berkontribusi pada penguatan salah satu atau lebih pilar Porter Diamond.
Skenario Transformasi: Dari Teori ke Realitas
Bayangkan 2030. Danantara telah mengoptimalkan aset BUMN melalui DTM. Infrastruktur digital Indonesia sekarang menyamai Thailand dan Vietnam. Energi terbarukan menyumbang 30% kapasitas listrik nasional. Industri pendukung manufaktur berkembang pesat dengan ratusan startup teknologi. BUMN-BUMN utama bersaing ketat satu sama lain dan juga dengan pemain global – dan beberapa bahkan menang.
Dalam skenario ini, daya saing bangsa meningkat drastis. Indonesia tidak lagi sekadar pasar bagi produk asing, tetapi produsen kompetitif dengan brand global. Dividen BUMN meningkat bukan karena trik akuntansi, tetapi karena efisiensi dan inovasi nyata.
Itu bukan mimpi, itu adalah tujuan yang terukur dan realistis jika Danantara konsisten menerapkan logika Porter Diamond dalam setiap keputusan.
Tiga Langkah Konkret
Pertama, bangun dan perkuat DTM sebagai lembaga transformasi teknologi, bukan hanya investor pasif. Mandatnya adalah mengidentifikasi technology gap di setiap sektor BUMN dan mengarahkan investasi untuk mengisinya sehingga dihasilkan inovasi-inovasi baru.
Kedua, buat roadmap Diamond Porter untuk setiap industri utama – energi, telekomunikasi, manufaktur, logistik. Setiap roadmap harus jelas: elemen diamond mana yang akan diperkuat, target kinerja apa, dan investasi apa yang diperlukan.
Ketiga, implementasikan sistem scoreboard kinerja transparan, di mana setiap BUMN diukur berdasarkan kontribusinya terhadap penguatan pilar-pilar diamond – bukan hanya profit, tetapi juga inovatif, memiliki SDM berkualitas, dan katalis ekosistem bisnis lokal.
Penutup: Danantara Sebagai Arsitek Daya Saing Bangsa
Danantara memiliki potensi untuk menjadi lebih dari sekadar pengelola aset. Ia bisa menjadi arsitek transformasi struktural yang mengubah fundamental ekonomi Indonesia. Tidak melalui proteksionisme atau subsidi, tetapi melalui inovasi, efisiensi, dan kompetisi yang sehat.
Jika dijalankan dengan benar, Danantara bukan sekadar instrumen fiskal. Ia adalah mekanisme untuk membangun bangsa yang berdaya saing, yang tidak tergantung pada komoditas alam atau upah murah, tetapi pada keunggulan teknologi, inovasi, dan kualitas sumber daya manusia.
Indonesia Emas 2045 bukan impian. Ia adalah hasil dari keputusan strategis hari ini. Dan Danantara adalah salah satu keputusan paling penting itu. Saatnya Danantara membuktikan bahwa ekonomi Indonesia tidak lagi hanya dikelola, tetapi ditransformasi.

