Kekuatan Sebuah Internal Marketing
June 21, 2010 2 Comments
Oleh: Harry Andrian Simbolon SE., M.Ak., QIA
Dalam beberapa kali kesempatan, saya berulang kali mendengar ulasan para pakar dan praktisi management strategi yang masih meyakini keunggulan teori perang Sun Tzu. Sun Tzu mengatakan bahwa kunci utama dalam meraih kemenangan terletak pada tiga faktor utama, yaitu senjata, medan pertempuran, dan prajurit. Dalam bisnis real ketiga faktor itu diterjemahkan sebagai teknologi (senjata), cakupan bisnis (medan pertemepuran) dan karyawan (prajurit). Dalam banyak kasus faktor teknologi dan cakupan bisnis bisa menjadi domain siapa saja. Saat ini semua perusahaan bisa menggunakan teknologi apapun karena menggunakan vendor yang sama dengan perusahaan pesaing. Demikian juga dengan cakupan wilayah, semua wilayah di Indonesia sudah menjadi arena bebas yang dapat digempur oleh setiap perusahan. Kunci utama dalam pertempuran yang sebenarnya terletak pada faktor prajurit – yang tidak lain adalah SDM perusahaan itu sendiri, karyawanlah yang memutar otak memilih dan menerapkan strategi yang tepat, karyawanlah yang harus bersusah payah mengamankan persaingan di lapangan dan karyawan pulalah yang menggerakkan lokomotif perusahaan.
Tanpa kita sadari kita lupa bahwa teori perang Sun Tzu tersebut hanya kita gunakan dalam tataran teori saja, atau sekedar diskusi hangat dalam forum-forum akademis belaka. Dapat dihitung oleh kita perusahaan di Indonesia yang benar-benar menempatkan karyawan sebagai ujung tombak going concern-nya bisnis perusahaan. Banyak perusahaan dengan sengaja malah menganggap karyawan sebagai outsourcing semata. Kita mengetahui bahwa sebagai outsourcing, karyawan tersebut kapanpun bisa didepak jika tidak disuka, dengan gampangnya bisa ditukar jika kinerjanya tidak memuaskan, dan bisa dijadikan amunisi efesiesi karena dapat dibayar dibawah rata-rata. Bukankah ini sama dengan robotisasi pekerja.
Beberapa pakar management tampaknya sudah mulai menyadari bahwa kesalahan robotisasi pekerja ini harus segera diluruskan. Beragam konsep management sumber daya manusia yang menempatkan kembali karyawan sebagai manusia (memanusiakan kembali manusia) banyak didengungkan, diantaranya adalah Jac Fitz-enz (2000) dalam bukunya ”ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance” mengatakan bahwa manusia tidak hanya sebagai sumber daya penting yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dalam proses kerja, tetapi juga sebagai human capital, sebagai intangible assets yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, talenta dan motivasi.
HR Sebagai Internal Marketing
Dalam membangun kompetensi pada fungsi Human Resource (HR) seringkali diterjemahkan dengan meningkatkan kompetensi teknis karyawan. Karyawan yang berotak cemerlang dan memiliki kompetensi teknis yang tinggi dianggap hal yang paling penting. Padahal banyak pakar perilaku organisasi berpendapat bahwa isu terpenting berkaitan dengan keberadaan organisasi sebenarnya adalah komitmen anggota terhadap organisasi. Jika seluruh anggota organisasi tidak lagi memiliki komitmen terhadap organisasinya maka pada dasarnya organisasi tersebut tinggal menunggu waktu untuk bubar.
Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap perusahaan akan sangat mendukung upaya perusahaan guna mencapai superioritas dalam pasar dan efisiensi dalam perusahaan karena pada dasarnya highly-committed employees akan berbuat yang terbaik bagi perusahaannya. Oleh karena itu untuk membangun kompetensi di fungsi HR yang paling penting adalah membentuk karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap perusahaan. Untuk membentuk karyawan dengan komitmen tinggi pada perusahaan, kita mungkin harus mengubah sisi pandang kita atas fungsi HR. Kita harus meredefinisi visi HR dari “biro penegak disiplin” menjadi “departemen pemasaran internal”. Marilah kita membuat perbandingan sederhana antara kedua hal tersebut.
Definisi paling mendasar dari pemasaran kurang lebih adalah proses pertukaran antara dua pihak atau lebih dengan tujuan memuaskan kedua belah pihak. Transaksi yang hanya memuaskan salah satu pihak bukanlah pemasaran. Kita mengenal proses pemasaran yang dimulai dari riset pasar untuk memetakan karakteristik pasar yang kita tuju. Kemudian kita harus mengembangkan produk (product development) yang sesuai dengan kemauan pasar. Setelah itu sampailah kita pada aktivitas manajemen untuk mengelola bauran pemasaran (terkenal dengan 4P). Hal ini berkaitan dengan bagaimana kita menetapkan harganya, mengkomunikasikan produk kepada konsumen dan mendistribusikannya. Proses selanjutnya adalah memantau kepuasan konsumen secara berkala, misalnya melalui survey kepuasan pelanggan. Jika konsumen puas maka dapat diharapkan akan tumbuh loyalitas konsumen, dalam arti konsumen akan terus membeli produk kita dan tidak akan mudah berpaling kepada pesaing. Tidak ada yang lebih penting dalam organisiasi bisnis selain loyalitas pelanggan karena dari sinilah sebenarnya kita mengeruk revenue dan memperoleh profit. Dengan survey kita mengetahui tingkat kepuasan pelanggan, jika konsumen tidak puas kita segera tahu apa yang menyebabkannya dan kita akan melakukan perbaikan-perbaikan termasuk mengembangkan produk baru. Semua itu semata-mata untuk membuat semua tindakan kita market oriented dalam rangka memuaskan pelanggan.
Dalam fungsi HR-pun terjadi proses yang sama dengan proses pemasaran tersebut. Sebenarnya yang terjadi antara perusahaan dengan karyawan adalah sebuah proses pemasaran, dalam arti kedua belah pihak melakukan pertukaran untuk mencapai kepuasan bersama. Bedanya adalah bahwa dalam aktivitas HR, pelanggannya ada di dalam perusahaan (internal customer). Perusahaan berfungsi sebagai produsen dan karyawan adalah konsumen. Yang menjadi produk yang ditawarkan atau dijual oleh perusahaan kepada karyawan adalah pekerjaan beserta kebijakan-kebijakan HR yang menyertainya (gaji, fasilitas, pengembangan karier dan peraturan ketenagakerjaan lainnya). Karyawan akan membayar “produk” yang dibelinya tersebut dengan keterampilan dan pengetahuannya (skills & knowledge) dan dengan waktu dan perhatian yang diberikannya semata-mata untuk perusahaan ini. Semakin puas seorang karyawan maka akan semakin banyak skills, waktu dan perhatian yang didedikasikannya kepada perusahaan ini. Artinya, dia bersedia membayar mahal produk yang dibelinya, dan jika dia puas, maka tidak akan terpikir olehnya untuk bekerja di tempat lain dan akan berbuat yang terbaik bagi perusahaan ini, apapun yang terjadi. Artinya dia akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap perusahaan dan ini tidak lain sama dengan loyalitas pelanggan dalam pemasaran eksternal. Jadi membentuk karyawan yang memiliki komitmen tinggi pada dasarnya sama dengan membentuk loyalitas pelanggan.
Pemasaran internal kepada karyawan mungkin akan lebih rumit dibandingkan dengan pemasaran eksternal. Jika seorang pelanggan tidak puas dan tidak mau menggunakan produk kita, kita mungkin masih bisa melupakannya dan mengalihkan kepada pelanggan yang lain. Namun jika seorang karyawan tidak puas dan tidak mau bekerja dengan baik, apakah yang dapat kita lakukan? Walaupun yang bersangkutan bekerja seenaknya, selama dia melakukan clocking sebelum jam delapan pagi dan setelah jam lima sore dan tidak melanggar peraturan disiplin, selama itu pula kita harus membayar gaji dan fasilitas lainnya. Artinya, dia tetap mengkonsumsi produk yang kita tawarkan tetapi tidak mau membayar produk tersebut atau membayar dengan harga yang rendah.
Untuk membentuk komitmen karyawan seperti yang kita harapkan, kita harus melakukan pendekatan proses pemasaran seperti tersebut di atas. Kita harus mulai dengan sebuah “riset pasar”, yaitu survey karyawan, untuk mengetahui dengan lebih pasti kemauan karyawan dan apa yang membuatnya puas atau tidak puas. Setelah itu kita perlu melakukan aktivitas ‘product development’. Mungkin kita harus meninjau kembali kebijakan-kebijakan HR yang ada atau menelorkan kebijakan-kebijakan baru yang selama ini mungkin tidak terpikirkan. Disinilah dibutuhkan kreatifitas yang cukup tinggi yang mungkin tidak kalah dengan proses serupa pada fungsi pemasaran eksternal. Setelah itu kitapun sampai pada pengelolaan bauran pemasaran. Yakni, kita harus mengkomunikasikan produk-produk kita terutama kepada pimpinan-pimpinan unit yang akan bertindak sebagai salesman kita. Kitapun harus mendistribusikannya dengan benar, dalam arti menerapkan semua kebijakan tersebut secara konsisten. Lalu kitapun harus pandai-pandai menetapkan “harga” yang harus dibayar oleh “pelanggan” kita. Yakni kita harus menetapkan apa yang diharapkan atau dituntut oleh perusahaan dari karyawan. Jangan sampai harapan atau tuntutan perusahaan tersebut terlalu tinggi dibandingkan dengan pekerjaan dan fasilitas yang kita tawarkan, sehingga karyawan merasa membayar terlalu mahal untuk “produk” kita tersebut. Setelah semua proses tersebut, kitapun perlu secara berkala memantau kepuasan pelanggan kita melalui sebuah survey kepuasan karyawan agar kita keep informed akan persepsi karyawan terhadap produk-produk fungsi HR kita.
Sudah tak terhitung banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa kualitas dan kepuasan karyawan berbanding lurus dengan kinerja perusahaan, artinya semakin bagus kualitas karyawan dan semakin puas karyawan tersebut bekerja di perusahaan tersebut maka akan berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan tersebut. Tanpa perlu ditelitipun sebenarnya secara logika kita pasti sepakat mengatakan bahwa untuk menghasilkan kinerja prima maka perusahaan harus memberikan perhatian khusus pada para karyawannya.
thx bang Hary, sangat membantu sekali. sudah lama tidak ketemu, apa kabarnya? Sukmo (accounting Unila 2002)
Halo Sukmo. Kabar baik. Kamu dinas dimana sekarang?