Permasalahan Tower Selesai dengan Surat Edaran OJK

Oleh: Harry Andrian Simbolon, SE., MAk., QIA., Ak., CA

1307969_towerrrrrrDiskusi panjang mengenai pengakuan dan pengukuran tower telekomunikasi pada laporan keuangan emiten di Indonesia akhirnya disudahi dengan dua lembar Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan  Nomor 27/SEOJK.04/2015. Permasalahan ini awalnya meruncing karena multi tafsir defenisi bangunan dalam PSAK 13: Properti investasi dan PSAK 16: Aset tetap, bahkan perdebatan sengit juga terjadi di international standard body-nya sendiri. Di Indoneisa jalan keluarnya ternyata cukup diselesaikan dengan dua lembar surat sakti itu.

Tower communication secara akuntansi memang tidak diatur secara spesifik bagaimana mengakui, mengukur dan menyajikannya. Standar akuntansi yang diterapkan di Indonesia yang merujuk pada International Financial Reporting Standard (IFRS) yang lebih bersifat principle base, hanya memberikan pedoman prinsip, tidak mengatur secara spesifik. Demikian juga penerapannya di negara-negara lain yang mengadopsi IFRS.

Pemilik tower yang menyewakan towernya kepada operator telekomunikasi dapat menyajikannya dalam laporan keuangan sebagai aset tetap atau sebagai properti investasi. Entitas yang menganut mazab aset tetap beranggapan bahwa tower tersebut digunakan untuk operasional perusahaan untuk menghasilkan pendapatan, sedangkan pihak yang beranggapan sebagai properti investasi menilai bahwa fungsi utama tower tersebut lebih pada menghasilkan pendapatan sewa daripada untuk operasional perusahaan sendiri, maka layak diakui sebagai properti investasi. Perdebatan lebih lanjutnya kemudian meruncing pada “Bisnis utama perusahaan penyedia tower adalah menyewakan tower itu sendiri, tentu menjadi bagian operasional perusahaan itu sendiri”.

Jika entitas mengakui tower tersebut sebagai aset tetap maka ada dua kemungkinan dampaknya, apabila dicatat dengan metode cost maka efeknya terdapat beban depresiasi yang disajikan pada laba rugi, apabila dicatat dengan metode revaluasi maka efek tambahannya pada comprehensive income atas selisih revaluasi tersebut. Sementara jika diakui sebagai properti investasi, maka tower tersebut harus disajikan sebesar nilai wajarnya yang berdampak pada laba rugi.

Perdebatan ini semakin tak berujung takkala empat perusahaan penyedia jasa tower (tower provider) yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terkemuka konsisten dengan penyajian mereka masing-masing pada laporan keuangan yang telah dipublikasikan di bursa efek Indonesia, lantas bagaimana dengan Operator telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, XL dan 3, yang juga menyewakan tower kepada pihak lain. Berikut metode yang digunakan oleh masing-masing tower provider:

No Emiten Pengakuan
1 PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) Properti Investasi
2 PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) Aset Tetap
3 PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) Properti Investasi
4 PT Bali Towerindo Sentra TBk (BALI) Properti Investasi

Ditambah satu lagi tower provider milik Telkom yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi yang tidak listed di bursa namun informasinya dapat dilihat dalam laporan keuangan PT Telkom yang mengakuinya sebagi aset tetap.

Dalam SE OJK ini dengan singkat dan jelas disebutkan dalam poin no 2 bahwa:

Aset menara telekomunikasi Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau entitas anaknya yang disewakan harus diakui sebagai Properti Investasi.

Itu artinya apapun pencatatan setiap tower provider selama ini, maka mau tak mau sejak SE ini berlaku setiap emiten harus mencatatnya sebagai properti investasi.

Untuk operator telekomunikasi, seperti yang kita ketahui bersama bahwa operator ini memiliki tower yang disewakan kepada operator lain, itu artinya ada pendapatan sewa yang diperoleh dari tower tersebut, namun seperti yang kita lihat bersama dibawah ini bahwa semuanya kompak mengakuinya sebagai aset tetap.

No Emiten Pengakuan
1 PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) Aset Tetap
2 PT Indosat Tbk (ISAT) Aset Tetap
3 PT XL Axiata Tbk (EXCL) Aset Tetap
4 PT Mobile Tbk (FREN) Aset Tetap
5 PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) Aset Tetap

ED ISAK 31

Kegaduhan semakin menjadi-jadi ketika Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) juga merilis Exposure Draft Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ED ISAK) No 31 tentang Interpretasi atas PSAK 13 hanya selang beberapa hari setelah OJK merilis SE 27 tersebut. ISAK 31 ini secara gamblang mendefenisikan bangunan. Bangunan dalam ISAK 31 diartikan dengan adanya dinding, lantai, dan atap yang melekat pada aset yang dimaksud. Itu artinya secara jelas menara telekomunikasi dianggap sebagai aset tetap karena tidak memiliki dinding dan atap.

Menurut saya agak sedikit rancu sih memang, IFRS yang menjadi rujukan IAI yang selalu menggaungkan principle base mengapa kali ini menelurukan standar yang lebih mirip rule base. Meski pengakuan Dewan Standar AKuntansi Keuangan (DSAK) bahwa surat mereka meminta fatwa ke IFRS Interpretation Committee (IFRIC) di London sudah dijawab di website IFRIC dengan mempertahankan model principle base, namun tetap saja ED ISAK 31 yang mirip rule base ini keluar juga.

Ketika public hearing ISAK 31 ini di kantor IAI, penulis juga mempertanyakan hal ini kepada DSAK, demikian juga banyak pelaku akuntansi lainnya yang mempertanyakan hal serupa baik selama acara public hearing tersebut atau diskusi sesudahnya.

Kita masih menunggu bagaimana hasil akhir dari ED ISAK 31 ini setelah public expose sampai disahkan nantinya.

Mana Yang Dipakai

Pertanyaan selanjutnya pastilah akan bermuara pada mana sebenarnya standar yang harus diterapkan. Bagi tower provider yang menjadi emiten tentu wajib melaksanakan aturan dari regulatory body-nya yaitu SE OJK, sedangkan bagi non emiten harus tetap mengacu pada PSAK, sebagaimana juga yang tercantum didalam PSAK No. 1. Bagi operator telekomunikasi perlu di pertimbangkan kembali tujuan awal mendirikan tower tersebut, jika niat awalnya untuk dipakai sendiri namun pada kenyataannya ditengah jalan juga disewakan kepada operator lain, tentu akan merujuk pada tujuan awal pendirian tower tersebut.

Permasalahannya bukan pada sekedar mana yang dipakai, tetapi lebih pada kenapa tafsiran atas suatu standar bisa berbeda-beda. Principle Base sebagaimana yang dianut PSAK tentu punya perbedaan dengan rule base sebagaimana yang dianut OJK. Perbedaan ini bisa terjadi pada setiap regulasi yang dikeluarkan. Namun jangan sampai perbedaan-perbedaan itu justru membuat iklim usaha menjadi tidak sehat (atau bahasa kerennya sekarang “kegaduhan”), terlebih tujuan daripada diterbitkannya laporan keuangan tersebut menjadi tidak tepat sasaran bagi pembaca laporan keuangan.

Pembaca laporan keuangan harus bisa diberikan perspektif yang sama atas suatu informasi, yaitu bagaimana laporan keuangan suatu perusahaan dapat dibandingkan dengan laporan keuangan perusahaan lainnya dengan menggunakan bahasa yang sama.

Advertisement

About akuntansibisnis
Me

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: