IFRS 15: Kekawatiran Yang Berlebihan?
July 4, 2016 Leave a comment
Oleh:
Harry A. Simbolon, SE, M.Ak, QIA, Ak, CA, CPA
Iwan Setiawan, SE, MBA, CIA, Ak, CA
IFRS 15 Revenue from contracts with customers adalah standar yang dihasilkan atas kolaborasi bersama antara International Accounting Standard Board (IASB) yang standarnya telah dipakai hampir di seluruh dunia dan Financial Accounting Standard Board (FASB) yang standarnya dipakai oleh mayoritas perusahaan-perusahaan Amerika. Pada saat yang hampir bersamaan dengan diluncurkannya IFRS 15 ini oleh IASB, FASB juga meluncurkan Accounting Standards Update (ASU) 606 dengan judul yang sama. IFRS 15 ini diharapkan menjadi jembatan bagi harmonisasi standar akuntansi antara kedua standard body ini, sehingga harapan dari seluruh stakeholder laporan keuangan kedepan bahwa hanya ada satu “bahasa” dalam laporan keuangan bisa dicapai.
Standar akuntansi ini akan menjadi standar tunggal sebagai referensi dalam pengakuan pendapatan, sehingga standar-standar yang ada sekarang akan tergantikan, yaitu antara lain: IAS 18 Revenue, IAS 11 Construction Contracts, IFRIC 13 Customer Loyalty Programs, IFRIC 15 Agreements for the Construction of Real Estate, IFRIC 18 Transfers of Assets from Customers dan SIC 31 Revenue: Barter Transactions Involving Advertising Services.
IFRS 15 direncanakan efektif berlaku sejak 1 Januari 2017, namun belum sampai setahun sejak diluncurkannya IFRS ini, IASB memutuskan untuk menerbitkan exposure draft yang bertujuan untuk menunda tanggal efektif IFRS 15 menjadi 1 Januari 2018. Setelah melalui konsultasi publik melalui gugus tugas yang dibetuk, IASB dan FASB menyadari bahwa tidak akan mudah untuk menerapkan standar ini. Kekawatiran mereka bertumpu pada pengakuan pendapatan tunggal yang berbasis prinsip tentunya berpotensi untuk dipertanyakan oleh banyak pihak, khususnya para pemangku kepentingan di Amerika yang selama ini telah terbiasa dengan standar akuntansi berbasis pengaturan yang sangat detil.
Isi IFRS 15
Pada prinsipnya standar ini mengatakan bahwa pendapatan diakui untuk menggambarkan transfer barang atau jasa. Sebenarnya IFRS ini mencoba merampingkan semua standar yang ada terkait pengakuan pendapatan ke dalam satu pola pikir. Pola pikir itu kemudian diwujudkan dalam lima langkah sebagai berikut:
Langkah 1: Identifikasi kontrak
Identifikasi ini harus dilakukan atas seluruh kontrak tanpa terkecuali. Standar ini juga memberikan pilihan bahwa identifikasi dapat dilakukan secara Individual approach maupun Portfolio approach. Pada prinsipnya pendapatan tidak boleh diakui sampai adanya suatu kontrak (dapat berupa formal/tertulis, oral, atau normal business practice). Suatu kontrak akan menimbulkan hak atas consideration dan kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa. Hak dan kewajiban tersebut kemudian akan menimbulkan aset atau liabilitas bersih. Perusahaan tidak mengakui contract assets atau contract liabilities sampai salah satu atau kedua belah pihak menjalankan kewajibannya.
Langkah 2: Identifiaksi kewajiban penyerahan barang atau jasa
Identifikasi kontrak dilakukan dari aspek performance obligations, yaitu apakah ada kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa atas suatu kontrak. Identifikasi kewajiban dilakukan atas setiap kontrak sehingga dapat ditelusuri apakah dalam satu kontrak dengan pelanggan hanya timbul satu kewajiban atau banyak kewajiban. Untuk menentukan apakah terdapat lebih dari satu kewajiban, perlu dilakukan evaluasi atas distinctiveness atas setiap promise dan performance obligation dalam kontrak. Jika suatu performance obligation tidak sangat tergantung (highly dependent) atau memiliki keterkaitan (interrelated) dengan kewajiban lain dalam kontrak, maka setiap performance obligation harus dicatat secara terpisah. Jika masing-masing jasa bersifat interdependent dan interrelated, jasa digabung dan dilaporkan sebagai single performance obligation.
Langkah 3: Identifikasi harga transaksi
Harga transaksi merupakan sejumlah consideration yang diharapkan akan diterima dari pelanggan. Harga mudah ditentukan jumlahnya, apabila pelanggan hanya membayar fixed amount consideration. Namun beberapa kondisi lain perlu diperhitungkan, antara lain: variable consideration, time value of money, non-cash consideration, consideration paid or payable to customers.
Langkah 4: Alokasi harga transaksi
Alokasi harga dilakukan berdasarkan relative fair value kepada masing-masing performance obligation. Ukuran fair value terbaik adalah harga jual barang atau jasa di pasar secara standalone basis. Jika tidak terdapat standalone price maka dipakai best estimate atas harga jual barang atau jasa seandainya dijual secara standalone basis.
Langkah 5: Pengakuan pendapatan
Perusahaan memenuhi performance obligation-nya ketika pelanggan telah memperoleh pengendalian atas barang atau jasa tersebut. Sebagaimana kita ketahui Indikasi perubahan pengendalian atas barang atau jasa adalah sebagai berikut: perusahaan telah menerima hak pembayaran atas aset; perusahaan telah melakukan transfer atas legal title asset; perusahaan melakukan transfer kepemilikan fisik atas aset; pelanggan telah memiliki risks and rewards dari kepemilikannya; dan pelanggan telah menerima aset.
Apa Kekawatirannya?
Seperti yang saya katakan di atas bahwa IFRS ini mencoba membantu para pembuat dan pemakai laporan keuangan terutama dalam mengakui pendapatan hanya dengan menggunakan satu kerangka pola pikir. Bagi saya pribadi, standar ini berbicara cukup sederhana dan jelas, namun bagi beberapa pihak lain mungkin dianggap sangat susah dan rumit, sampai-sampai ada salah satu penyedia aplikasi enterprise resources planning (ERP) ternama memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat satu sub module khusus bernama IFRS 15 sebagai gimmick dagangannya.
Saya mencoba menyelami beberapa kekawatiran yang mungkin timbul dan juga mencoba menganalisis beberapa pain point jika standar ini diterapkan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Identifikasi setiap kontrak yang ada. Beberapa pihak merasa membutuhkan effort yang sangat besar atau bahkan merubah business process jika harus mengidentifikasi satu persatu kontrak dengan pelanggannya. Bayangkan jika contohnya adalah perusahaan telekomunikasi dengan ratusan juta pelanggan dengan beragam produk dan layanan. Jika standar ini mengatakan bahwa kontrak tidak hanya tertulis, tetapi juga lisan, atau malahan dilakukan secara digital seperti dengan konfirmasi SMS atau komunikasi dengan UMB (*ANGKA#), tentu pikiran kita semakin rumit bukan? Namun bukannya selama ini perusahaan tersebut sudah mengidentifikasi pendapatan-pendapatan nya sesuai dengan line produk dan layanannya masing-masing, sebagaimana tertera dalam laporan tahunannya? Standar ini juga mengijinkan jika identifikasinya dilakukan secara group/portfolio sejauh terdapat persamaan barang atau jasa, persamaan isi (terms and condition) kontrak dan karakter pelanggan (misal terkait tingkat retur).
Kedua, pengakuan contract asset dan contract liabilities atas setiap performance obligation. Standar ini mengatakan jika right received lebih besar dari performance obligation maka akan timbul contract assets, jika terjadi sebaliknya maka akan timbul contract liabilities. Permasalahannya adalah contract assets itu bukanlah AR jadi harus dipisahkan, demikian juga contract liabilities itu bukanlah AP atau accrued. Bukannya akuntansi yang kita pahami selama ini semenjak di bangku perkuliahan sudah mengatakan demikian? Saya pikir kita tidak usah memperdebatkannya lagi. Namun jika masalahnya terletak dalam memisahkan, tentu ada cara yang bisa kita lakukan. Sebagaimana business as usual yang kita ketahui, jika transaksi tersebut bisa ditagihkan kepada pelanggan maka diakui sebagai AR (billed or unbilled), jika tidak maka tentunya diakui sebagai other assets (dalam hal ini contract assets), sebaliknya jika sudah invoicing maka dicatat sebagai AP, jika belum invoicing namun sudah ada deliverable-nya maka diakui sebagai accrued, nah kalau pendapatan sudah didistribusikan di depan tapi belum ada “traffic”-nya maka pastilah dicatat sebagai unearned revenue (dalam hal ini contract liabilities).
Ketiga, menentukan harga berdasarkan variable consideration, time value of money, non-cash consideration, dan consideration paid or payable to customers. Disini memang saya akui membutuhkan effort khusus. Namun bukannya ketika kita memilih mengadopsi IFRS, kita harus siap dengan konsekuensi ini. Lebih detailnya, jika harga tergantung pada on future events tertentu seperti discounts, rebates, credits, performance bonuses dan royalties, maka perusahaan perlu melakukan estimasi jumlah pendapatan yang akan diakui berdasarkan professional judgment-nya. Jika kontrak memiliki significant financing component maka bunga yang timbul diakui atas consideration yang akan dibayar dari waktu ke waktu dan perusahaan melaporkan secara terpisah elemen financing sebagai beban atau pendapatan bunga. Hal ini juga sudah kita pahami bersama bukan? Selanjutnya, jika perusahaan menerima non-cash contributions berupa barang atau jasa dari pelanggan, maka pendapatan diakui berdasarkan fair value dari non-cash contributions yang diterimanya. Hal ini juga sudah kita ketahui bersama. Lebih jauh lagi, jika consideration berupa diskon, volume rebates, coupons, free products, free services, ini juga sudah kita akui bahwa secara umum elemen-elemen tersebut bersifat mengurangi consideration yang diterima dan pendapatan yang diakui.
Keempat, menentukan relative fair value atas setiap performance obligation. Pengukuran fair value memang banyak yang mempermasalahkannya, namun bukannya ini sudah menjadi konsekuensi ketika kita menerapkan IFRS? IFRS juga sudah memberikan panduan bagaimana mengukur fair value.
Kelima, waktu pengakuan pendapatan. Bagi yang mempermasalahkan hal ini, beranggapan bahwa pendapatan susah diidentifikasi pada saat perpindahan pengendaliannya, secara khusus pada pengakuan pendapatan atas performance obligation dari waktu ke waktu/over period of time (missal untuk proyek konstruksi). Panduan perpindahan pengendalian sudah dijelaskan secara gamblang pada standar ini seperti saya jelaskan di atas, pun demikian dengan pengakuan over period of time, menurut saya tidak terdapat perubahan yang signifikan pada sisi operasionalnya dari pengakuan pendapatan pada standar sebelumnya (IAS 11 Construction Contracts).
Penutup
Alasan utama penundaan standar ini adalah untuk mengakomodir pemangku kepentingan yang selama ini menggunakan US GAAP yang kemungkinan akan mengalami kesulitan besar ketika harus berubah mengikuti standar yang bersifat principle base. Namun bagi perusahaan-perusahaan di banyak negara yang telah mengadopsi IFRS (termasuk Indonesia), tentu bukanlah sesuatu yang terlalu rumit lagi.
Sebagaimana dalam penjelasannya mengapa mengeluarkan IFRS 15 ini, IASB mengatakan bahwa
“Revenue is an important number to users of financial statements in assessing an entity’s financial performance and position. However, previous revenue recognition requirements in International Financial Reporting Standards (IFRS) differed from those in US Generally Accepted Accounting Principles (US GAAP) and both sets of requirements were in need of improvement. Previous revenue recognition requirements in IFRS provided limited guidance and, consequently, the two main revenue recognition Standards, IAS 18 and IAS 11, could be difficult to apply to complex transactions. In addition, IAS 18 provided limited guidance on many important revenue topics such as accounting for multiple-element arrangements. In contrast, US GAAP comprised broad revenue recognition concepts together with numerous revenue requirements for particular industries or transactions, which sometimes resulted in different accounting for economically similar transactions.”
Oleh karena itu IASB dan FASB menginisiasi proyek bersama dalam menyusun standar akuntansi tunggal dalam pengakuan pendapatan, yang diantaranya menghilangkan ketidak-konsistenan dan lemahnya sarat pengakuan pendapatan pada standar sebelumnya; memberikan rerangka yang lebih handal dalam menampung setiap isu pendapatan; meningkatkan keterbandingan praktik pengakuan pendapatan antar entitas, industri, jurisdiksi dan pasar modal; memberikan informasi yang lebih berguna kepada pengguna laporan keungan melalui peningkatan pengungkapan; dan menyederhanakan pembuatan laporan keuangan dengan mengurangi sarat-sarat yang harus diikuti.
Jika dilihat dari paragrap di atas, tujuan dikeluarkannya standar ini sangat mulia sekali. Memang tetap saja ada sarat-sarat yang harus diikuti dan improvement yang harus dilakukan oleh perusahaan, diantaranya administrasi dokumen kontrak yang lebih rapi, peningkatan kemampuan pengolahan data, teamwork yang lebih baik antar setiap bagian terutama bagian akuntansi dengan bagian produk dan bagian legal contractual, dll. Namun beberapa perubahan itu bukanlah hal mustahil yang harus dilakukan bukan? Penulis artikel bisnis terkenal Alan Deutschman mempopulerkan slogan bisnis “Change or Die“. Jadi saya akan menutup artikel ini dengan jawaban saya: saya masih mau hidup, bagaimana dengan Anda?