Menyoal Ambiguitas Undang Undang Kepailitan Indonesia

BankruptcyOleh: Harry Andrian Simbolon, SE., M.Ak., QIA

Kabar paling heboh dalam dunia bisnis di Indonesia baru-baru ini adalah perihal dipenuhinya permohonan pailit oleh PT Prima Jaya Informatika  terhadap PT Telkomsel  mengenai sengketa hutang piutang senilai Rp 5,2 miliar. Pertanyaan mendasar bagi para pelaku bisnis tentunya bagaimana mungkin PT Telkomsel yang memiliki aset puluhan triliun dipailitkan oleh PT Prima Jaya Informatika hanya karena sengketa utang piutang berjumlah Rp 5,2 miliar.

Kasus ini benar-benar menjadi pukulan telak terhadap iklim bisnis dan investasi di Indonesia. Kasus ini membuat para pelaku bisnis kembali menelisik konten dan substansi dari undang-undang kepailitan. Mungkin-mungkin saja suatu saat perusahaan mereka bisa dipailitkan. Saya pribadipun selaku pemerhati bisnis mencoba mempelajari undang-undang ini. Hasil analisa saya menyimpulkan setidaknya ada beberapa hal yang patut dikoreksi.

Pertama sekali saya mau menyoal judul dari undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan. Judul undang-undang itu adalah KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Seharusnya tuntutan pailit yang diajukan haruslah secara materi bisa membuat pailit (membangkrutkan) suatu perusahaan sebagaimana judul tersebut. Bagaimana mungkin tuntutan Rp 5,2 miliar bisa membangkrutkan PT Telkomsel yang sangat sehat secara keuangan itu. Dalam ilmu akuntansi dan audit ada isitlah yang disebut dengan tingkat materialitas yang biasanya diukur 5% dari EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, penyusutan dan amortisasi). Suatu nilai, apakah itu temuan, kesalahan atau ketidaktepatan berada di bawah tingkat materialitas, maka nilai tersebut bisa diabaikan. Nah, nilai Rp 5,3 miliar ini bagi Telkomsel sangat jauh dibawah tingkat material. Artinya nilai tersebut dianggap Telkomsel tidak material. Masakan nilai yang tidak material ini justru bisa membuat Telkomsel bangkrut. Perlu ada batasan secara material dalam setiap permohonan pailit.

Undang-undang No. 37 tahun 2004 memang secara sangat sederhana memungkinkan untuk memailitkan sebuah perusahaan. Dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.” Artinya hanya bila dua perusahaan saja memiliki piutang yang telah jatuh tempo terhadap suatu perusahaan debitur, maka kedua perusahaan tersebut bisa membangkrutkan perusahaan debitur tersebut.

Sangat tidak adil memang bunyi undang-undang ini. Hal ini membuat saya mempelajari sejarah munculnya undang-undang ini. Undang-undang ini meski diundangkan pada tahun 2004, namun undang-undang ini lahir dari peristiwa krisis moneter yang melanda iklim bisnis Indonesia pasca tahun 1998. Pada waktu itu memang banyak kasus perusahaan gagal bayar atau bahkan pengusahanya lari begitu saja. Undang-undang ini waktu itu dibuat untuk mengamankan iklim investasi agar tidak terjadi aksi lari dari tanggungjawab membayar hutang tersebut. Kondisi sekarang jelas berbeda. Undang-undang ini sudah usang dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman lagi. Saya akan terus mengkampanyekan hal ini kepada para pelaku bisnis dan praktisi hukum untuk melakukan koreksi atas undang-undang ini.

Undang-undang ini memang mengecualikan untuk beberapa perusahaan seperti bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Untuk Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Juga Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (3) sampai ayat (5)). Namun Undang-undang ini lalai mengantisipasi atas perusahaan yang memiliki volume bisnis besar dan sebaran jasa dan layanan di seluruh Indonesia serta perusahaan yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan Negara seperti PT Telkomsel ini. PT Telkomsel secara status memang PMA karena ada 35% kepemilikan  asing, namun sisanya dimiliki Indonesia melalui PT Telkom. PT Telkomsel menjadi sendi-sendi perekonomian bagi jutaan penduduk Indonesia atas kebutuhan layanan Telekomunikasi yang diberikannya. PT Telkomsel juga menjadi penyumbang kontribusi terbesar bagi Negara baik melalui pembayaran pajak maupun deviden. Dimana peran pemerintah akan hal ini?

Hal berikutnya yang akan saya bahas adalah mengenai keberadaan kurator yang akan mengambil alih wewenang direksi perusahaan debitur setelah dinyatakan pailit. Pasal 10 ayat (1) huruf (b) undang-undang tersebut mengatakan bahwa “menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi: 1) pengelolaan usaha Debitor; dan 2) pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang Kurator.” Dan pasal 15 ayat (1) “Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan.” Kurator ini mendadak menjadi orang super yang bertindak sebagai dewan direksi perusahaan. Meski peran kurator ini rawan penyimpangan, namun yang saya persoalkan lebih kepada biaya kuratornya.

Sesuai pasal 16 ayat (1) undang-undang tersebut mengatakan bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator hanya bekerja mengurusi aset perusahaan debitur jika perusahaan itu dinyatakan pailit oleh pengadilan. Artinya hidup matinya usaha kurator tergantung dari pengadilan. Bayangkan jika dalam setahun saja tidak pernah ada perusahaan yang pailit maka sudah pasti kurator tidak akan mendapatkan uang atas jasa mereka. Maka kita tidak heran bila kurator senang sekali ada permohonan pailit masuk ke pengadilan niaga.

Siapakah yang akan membayar jasa kurator tersebut. Apakah perusahaan pemohon atau perusahaan debitur? Dahulu pernah ada Surat Keputusan Menteri Kehakiman yang secara khusus mengatur mengenai biaya kurator yaitu SK No M.09-HT.05.10 Tahun 1998. Dengan diundangkannya UU no 37, SK ini dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Jadi satu-satunya aturan yang menjadi rujukan mengenai biaya kurator hanya UU no 37 tahun 2004. Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa Majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator. Selanjutnya ayat (3) menyatakan bahwa Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit atau kepada pemohon dan Debitor dalam perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim tersebut. Artinya wewenang menentukan dan kepada siapa dibebankan biaya kurator ini tergantung pada hakim yang menyidangkan kasus pailit ini.

Saya yang memahami betul sistem akuntansi tentu dengan gampang mengatakan bahwa ada prosedur yang tidak tepat disini. Masakan Hakim yang memutuskan suatu perusahaan pailit atau tidak, juga menentukan besarnya biaya kurator, juga kepada siapa dibebankan biaya tersebut. Dalam bahasa akuntansinya tidak ada pemisahan tugas (segregation of duties) dalam hal ini. Sebisa mungkin pun kita berpikir posisif tetap saja pikiran kita akan tertuju pada tidak objektifnya peradilan di Indonesia ini. Pantas saja permohonan pailit hampir selalu disetujui di pengadilan karena hakim memiliki wewenang yang sangat besar disini.

Sebagai contoh jika biaya kurator ditentukan sebesar 1% dari aset perusahaan debitur. Kita ambil contoh untuk kasus Telkomsel 1% dari asetnya berarti ada sekitar Rp 600 miliar. Jumlah yang sangat fantastis bukan? Sangat gampang sekali besaran ini dipermainkan oleh para pihak yang terlibat. Dan yang anehnya lagi berdasarkan pertimbangan hakim jikapun kasus pailit akhirnya dibatalkan di tingkat kasasi atau tingkat peninjauan kembali maka biaya kurator bisa saja tetap dibebankan kepada perusahaan debitur. Sangat tidak adil bukan? Jika dibebankan kepada perusahaan pemohon, yang mungkin asetnya saja tidak sampai Rp 10 miliar apakah dia mampu membayarnya? Ini yang patut didiskusikan lebih lanjut oleh para pakar hukum bisnis di negeri ini.

Atas beberapa analisa ini, saya mengusulkan kepada para pelaku bisnis dan praktisi hukum untuk malakukan koreksi secara legal formal untuk mengamandemen UU no 37 tahun 2004 ini. Kepastian hukum sangat dibutuhkan oleh para pelaku bisnis. Jangan sampai hal-hal yang kita anggap sangat sederhana ini membuat para investor dan pebisnis tidak percaya lagi pada Indonesia.

Advertisement

About akuntansibisnis
Me

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: