Aspek Akuntansi Kasus Pailit PT Telkomsel

BankruptcyOleh: Harry Andrian Simbolon, SE., M.Ak., QIA

Kasus pailit PT Telkomsel seyogyanya berada pada ranah hukum, namun substansi dari kasus ini merupakan pemahaman atas konsep dasar akuntansi yaitu pengakuan utang piutang. Dalam tulisan singkat ini, saya akan mengupas kasus ini dari sudut pandang akuntansi.

Seperti kita ketahui bersama, kasus ini bermula dari sengketa utang piutang antara PT Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika. Pada tanggal 1 Juni 2011 PT Telkomsel menandatangani memorandum of understanding (MoU) nomor PKS.591/LG.05/SL-01/VI/2011 dan 031/PKS/PJI-TD/VI/2011 dengan Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) untuk menjual produk PT Telkomsel, yakni kartu perdana dan voucher isi ulang (disebut dengan kartu prima) kepada para atlet di Indonesia. Untuk mengeksekusi MoU tersebut, YOI kemudian menunjuk PT Prima Jaya Informatika.

Pada tanggal 20 Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika yang dalam hal ini bertindak sebagai distributor PT Telkomsel mengajukan Purchase Order (PO) kepada PT Telkomsel untuk membeli kartu prima senilai Rp. 2,26 miliar. PO tersebut oleh PT Telkomsel tidak dipenuhi. Pada tanggal 21 Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika kembali mengajukan PO kedua senilai Rp 3 miliar. Namun sama dengan PO sebelumnya, oleh PT Telkomsel juga tidak dipenuhi. Nah disinilah timbul masalahnya. PT Prima Jaya Informatika mengganggap kedua PO yang tidak dipenuhi ini senilai total Rp. 5,26 miliar adalah merupakan piutang yang telah jatuh tempo. Tidak dipenuhinya kedua PO tersebut menurut PT Telkomsel karena PT Prima Jaya Informatika tidak memenuhi ketentuan kontrak, sehingga tidak saya bahas dalam tulisan ini. Kasus ini kemudian disengketakan ke pengadilan hingga berujung pada kepailitan PT Telkomsel di Pengadilan Niaga Jakarta tanggal 14 September 2012. Menurut pertimbangan hakim Pengadilan hari itu, janji sudah dapat dikatagorikan sebagai utang, sedangkan utang adalah kewajiban yang bisa dikuantifikasi dengan uang.

Jika membeli, bukannya seharusnya si pembeli menyerahkan uang terlebih dahulu baik sebagai uang muka atau senilai dari barang yang akan dibeli. Atau jika pembelian dilakukan secara kredit, berarti si pembeli berhutang kepada si penjual bukan? Kok dalam kasus ini justru sebaliknya, Telkomsel malah yang jadi berhutang kepada si pembeli (PT Prima Jaya Telekomunikasi). Inilah alasan PT Telkomsel melakukan perlawanan terhadap tuntutan hukum PT Prima Jaya Informatika karena PT Telkomsel menganggap utang belum terjadi.

Sebelum berbicara akuntansi, saya mengajak para pembaca untuk berpikir secara logis. Apakah permintaan pembelian (PO) yang tidak dipenuhi bisa langsung dikatakan sebagai piutang? statusnya saja masih permintaan pembelian, serah terima barang pun belum terjadi, apalagi melakukan penagihan (invoicing), mengapa malah dikatakan piutang telah jatuh tempo? Mendefenisikan utang saja kedua belah pihak belum satu persepsi. Makanya wajar saja beberapa pakar hukum mengatakan bawa jika status utangnya saja masih sengketa, sebaiknya diselesaikan dulu di ranah perdata, jangan langsung dipailitkan. Jika ini bisa dikatakan utang, maka kekacauan dalam dunia bisnis di Indonesia pasti akan terjadi. Dengan gampangnya nanti setiap perusahaan membuat PO kepada perusahaan lain dengan atau tanpa MoU yang pernah ditandatangani, lalu kemudian mengklaimnya melalui pengadilan niaga, tanpa perlu ada penyerahan barang dan penagihan. Perusahaan tersebut pasti dengan gampangnya akan merujuk pada kasus PT Telkomsel ini. “Dulu dalam kasus PT Telkomsel saja pengadilan mengganggap ini sebagai piutang kok”. Kalau ini memang terjadi, bisa makin suram iklim bisnis negeri ini.

Secara akuntansi, Piutang termasuk kategori aset keuangan yang diatur di PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 55 dan termasuk ke dalam klasifikasi “Pinjaman yang diberikan dan Piutang”. Menurut standar ini, yang termasuk ke dalam klasifikasi “Pinjaman yang diberikan dan piutang” adalah aset keuangan yang bukan derivatif, dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan tidak diperdagangkan di pasar aktif. Selanjutnya, pengertian dari piutang adalah aset keuangan yang mencerminkan hak kontraktual untuk menerima sejumlah kas atau aset keuangan lainnya di masa depan. Dengan demikian, piutang mencerminkan hak tagih terhadap pihak lain atas kas atau aset keuangan lainnya.

Didalam akuntansi ada yang dikenal dengan istilah substance over form yang artinya substansi mengungguli bentuk hukum. Pengakuan kejadian ekonomi secara akuntansi lebih konservatif daripada pengakuan secara hukum. Kongkritnya jika suatu kejadian ekonomi telah terjadi namun bentuk formal legalnya belum ada, maka kejadian tersebut sudah bisa dicatat secara akuntansi. Sebagai contoh nyata dalam bisnis telekomunikasi. Jika pelanggan pasca bayar belum menerima tagihan (bukti hukum) penggunaan pulsa, namun si pelanggan tersebut telah menggunakan pulsa tersebut, maka pada periode pelaporan oleh operator yang bersangkutan, kejadian ini sudah dicatat sebagai piutang dan pendapatan. Atau contoh lain lagi, jika tagihan (bukti hukum) dari bank atas bunga pinjaman yang diberikan belum diterima oleh suatu perusahaan pada tanggal pelaporan, tetapi selama periode tersebut perusahaan telah menikmati pinjaman tersebut, maka pada tanggal pelaporan perusahaan sudah harus mengakui beban bunga dan hutang (akrual) bunga. Bahkan atas suatu piutang, perusahaan sudah mencadangkan piutang yang kemungkinan tidak dapat ditagih. Sangat konservatif bukan?

Berdasarkan prinsip akuntansi, pengakuan akuntansi lebih konservatif daripada hukum, namun dalam kasus ini justru hukum lah yang lebih konservatif dari akuntansi. Inilah yang membuat para praktisi akuntansi geleng-geleng kepala.

Singkatnya, secara akuntansi semua utang piutang yang telah dicatat di dalam laporan keuangan perusahaan tersebut adalah benar-benar utang dan piutang perusahaan tersebut. Klaim perusahaan atas aset perusahaan lain sesuai defenisi piutang dalam PSAK 55 tertera secara langsung dalam laporan keuangan. Jika belum muncul di laporan keuangan pasti saja belum dianggap sebagai utang piutang. Nah lebih jauhnya mari kita lihat pada laporan keuangan kedua perusahaan tersebut. Apakah di laporan keuangan PT Prima Jaya Informatika pada bulan pelaporan gugatan tersebut diajukan ke pengadilan kedua PO tersebut sudah dicatat sebagai piutang, sebaliknya apakah di laporan keuangan PT Telkomsel pada bulan pelaporan gugatan tersebut diajukan ke pengadilan kedua PO tersebut sudah dicatat sebagai utang.

Kembali ke pertanyaan diatas. Apakah kedua PO Tersebut bisa dikatakan sebagai piutang oleh PT Prima Jaya Telekomunikasi dan sebagai utang oleh PT Telkomsel?

Advertisement

About akuntansibisnis
Me

2 Responses to Aspek Akuntansi Kasus Pailit PT Telkomsel

  1. Romeo India Sierra says:

    HUkumnya hukum rimba ini om.
    Ane sebagai seorang akuntan 100x geleng geleng ..
    Utang piutangnya antar oknum kali ini om >,<'

  2. lawyermu says:

    Bisa jadi atas perbuatan Telkomsel mengakibatkan suatu kerugian atas tidak dipenuhinya PO tersebut, dengan begitu maka kerugian tersebut harus dibayar oleh Telkomsel setelah dilakukan somasi. Maka atas tidak dilaksanakan perjanjian yang mengakibatkan kerugian yang sudah ditagih secara patut, bisa diakui sebagai piutang dan dijadikan alasan untuk mempailitkan..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: