Karyawan Hanya Mengejar Kompensasi Jangka Pendek?
July 27, 2020 Leave a comment
Oleh: Iwan Setiawan., S.E., MBA *)
Sering kita menemukan perusahaan yang berkinerja keuangan bagus dan memberikan kompensasi excellent kepada karyawannya, tetapi justru memiliki employee turn-over yang tinggi pula, malahan tingkat ketidakpuasan kerja karyawannya juga tinggi. Apakah itu sesuatu yang salah? Tingkat turn-over karyawan tentu bukan indikator yang selalu harus diwaspadai oleh manajemen. Beberapa perusahaan “pencetak leader” memandang angka turn-over karyawan yang tinggi sebagai sesuatu yang sehat. Angka tersebut bahkan sering dibanggakan oleh manajemen perusahaan dan para alumni (contoh klasik adalah Citibank Indonesia). Akan tetapi ketidakpuasan karyawan dari sudut pandang apapun tentu bersifat diametrical terhadap financial result yang diperoleh (baik oleh perusahaan maupun individu karyawan).
Tindakan klasik manajemen menghadapi ketidakpuasan karyawan umumnya dengan meriview ulang kondisi hygiene factors dari employment di perusahaan tersebut. Hygiene factor adalah faktor dari pekerjaan yang apabila tersedia dalam jumlah cukup akan menghilangkan ketidakpuasan kerja. Bila ditelisik lebih lanjut (biasanya melalui survei lanjutan atau focus group discussion) apa bentuk hygiene factor yang tepat, seringkali justru jawabannya adalah kenaikan kompensasi, dan yang bersifat jangka pendek, yaitu TANI (total annual net income). Aneh bukan? Karyawan sudah diberikan kompensasi tinggi masih tetap tidak puas, dan ketika disurvei (anehnya) obat yang diharap adalah kenaikan kompensasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, jika fenomena tersebut terjadi terus menerus di suatu perusahaan, perlu ditinjau faktor-faktor lain di luar kompensasi dengan perspektif lain sebagai landasannya.
Fenomena di muka sebenarnya dapat dijelaskan oleh ERG Theory dari Clayton Alderfer (1969). ERG Theory menjelaskan bahwa terdapat 3 jenis hirarki kebutuhan manusia, yaitu (dari yang terendah): Existence needs (E), Relatedness needs (R) dan Growth needs (G). Existence needs, merupakan kebutuhan paling rendah manusia misalnya kebutuhan fisiologis dan kecukupan materialistik; relatedness need merupakan kebutuhan manusia akan relationship yang berarti dengan manusia lain sedangkan growth needs merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan kemampuan diri dan potensi yang dimilikinya sejauh mungkin. Alderfer juga mempunyai tesis mengenai adanya frustration-regression component. Alderfer menyatakan bahwa kegagalan manusia dalam memenuhi kebutuhan pada orde yang lebih tinggi (misalnya growth needs), akan meningkatkan tuntutan terhadap kebutuhan pada orde yang lebih rendah (misalnya existence needs), dan seterusnya.
Pada perusahaan BUMN, terutama yang mapan dan besar, faktor ketidakjelasan jenjang karir umumnya telah tereliminasi melalui kebijakan SDM yang jelas, terlembaga dan berjalan dengan baik. Existence need juga disumbang dengan adanya jaminan keamanan kerja berupa long-life employment yang umumnya berlaku di BUMN. Itulah sebabnya mengapa kepuasan karyawan BUMN relatif baik atau bahkan seringkali sangat baik (meskipun tingkat kompensasi mereka secara faktual tidak lebih baik dibandingkan karyawan swasta nasional atau asing yang satu level dalam industri yang sama). Jikapun terjadi ketidakpuasan, umumnya berfokus pada kenaikan kompensasi, dan ini sangat wajar karena dengan mudah diketahui adanya ketimpangan kompensasi yang terjadi dalam industry melalui benchmarking.
Sebaliknya pada beberapa perusahaan high performer (di industri masing-masing), di mana karyawannya memiliki kompensasi tinggi dibandingkan industri, perlu mempertimbangkan faktor lain sebagai penyebab ketidakpuasan karyawan tersebut. Faktor-faktor seperti: tingginya ekpektasi kinerja dari pemegang saham, kecilnya delegasi dari pemegang saham kepada mid/lower level management, campur tangan berlebihan dari pemegang saham, terbatasnya delegasi dari pemegang saham kepada mid/lower level management, tidak adanya delegasi dalam pengambilan keputusan manajerial, kemungkinan besar dianggap oleh karyawan sebagai batasan atas pengembangan kemampuan diri dan potensi mereka (untuk memenuhi growth needs). Sebagai akibatnya, mereka melakukan kompensasi dalam bentuk tuntutan akan needs yang berada pada orde kebutuhan lebih rendah seperti kenaikan gaji dan kompensasi tunai (existence needs).
*) Penulis berkecimpung cukup lama dalam organizational management di beberapa perusahaan. Saat ini penulis merupakan transformation advisor pada salah satu perusahaan terkemuka.