Regional Comprehensive Economic Partnership
January 5, 2023 Leave a comment
Oleh: Harry Andrian Simbolon, SE., M.Ak., M.H., QIA., Ak., CA., CPA., CMA, CIBA, ASEAN CPA
Regional Comprehensive Economic Partnership (“RCEP”) adalah perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement (“FTA”)) antara sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (“ASEAN”) (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam) dan lima mitra FTA (Australia, Cina, Jepang, Selandia Baru, dan Republik Korea).[1] Kemitraan ini didirikan karena negara-negara di kawasan Asia Timur memiliki hubungan perdagangan dan ekonomi yang berkembang pesat satu sama lain melalui perjanjian perdagangan bebas. ASEAN memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan enam mitra yaitu Republik Rakyat Tiongkok (“ACFTA”), Republik Korea (“AKFTA”), Jepang (“AJCEP”), India (“AIFTA”) serta Australia dan Selandia Baru (“AANZFTA”).
Mengenal Regional Comprehensive Economic Partnership
Pada bulan Agustus 2012, 16 Menteri Perekonomian mengesahkan Prinsip-Prinsip Panduan dan Tujuan RCEP. Perundingan RCEP diluncurkan oleh Pemimpin dari 10 Negara Anggota ASEAN dan enam mitra ASEAN FTA tersebut selama KTT ASEAN ke-21 dan KTT di Phnom Penh, Kamboja pada November 2012. Tujuan dari peluncuran negosiasi RCEP adalah untuk mencapai kesepakatan kemitraan ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan antara Negara Anggota ASEAN dan mitra FTA ASEAN. Negosiasi RCEP dimulai pada awal 2013. Perundingan RCEP meliputi: perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, kerjasama ekonomi dan teknis, kekayaan intelektual, persaingan, penyelesaian sengketa, e-commerce, usaha kecil dan menengah (UKM) dan isu-isu lainnya.
RCEP memiliki potensi untuk memberikan peluang yang signifikan bagi bisnis di kawasan Asia Timur, mengingat fakta bahwa 16 negara peserta RCEP mencakup hampir setengah dari populasi dunia; menyumbang sekitar 30 persen dari PDB global dan lebih dari seperempat ekspor dunia. RCEP akan menyediakan kerangka kerja yang bertujuan untuk menurunkan hambatan perdagangan dan mengamankan akses pasar yang lebih baik untuk barang dan jasa untuk bisnis di kawasan ini.
RCEP menyadari pentingnya menjadi inklusif, terutama untuk memungkinkan UKM memanfaatkan kesepakatan dan mengatasi tantangan yang timbul dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan. UKM (termasuk usaha mikro) membentuk lebih dari 90% dari pendirian bisnis di semua negara peserta RCEP dan penting bagi perkembangan endogen setiap negara dari ekonomi masing-masing. Pada saat yang sama, RCEP berkomitmen untuk menyediakan kebijakan ekonomi regional yang adil yang saling menguntungkan ASEAN dan mitra FTA-nya.
Berlaku Efektif Kemitraan
Pada tanggal 2 November 2021, Sekretariat ASEAN telah menerima Instrumen Pengesahan/Penerimaan dari enam Negara Anggota ASEAN – Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Singapura, Thailand, dan Vietnam – serta dari empat Negara penandatangan non-ASEAN – Australia, Cina, Jepang, dan Selandia Baru. Sebagaimana ditentukan oleh Perjanjian, RCEP akan berlaku enam puluh hari setelah tanggal tercapainya jumlah minimum IOR/A. Artinya, Perjanjian RCEP mulai berlaku pada 1 Januari 2022.
Proses ratifikasi yang cepat oleh Negara-negara penandatangan adalah cerminan nyata dari komitmen kuat kami terhadap sistem perdagangan multilateral yang adil dan terbuka untuk kepentingan rakyat di kawasan dan dunia. Implementasi Perjanjian RCEP mulai 1 Januari 2022 akan memberikan dorongan luar biasa bagi upaya pemulihan ekonomi pasca COVID-19.[2]
Sementara itu, persiapan pemberlakuan RCEP akan terus dilakukan. Pekerjaan persiapan yang dilakukan oleh Negara-negara penandatangan bertujuan untuk meletakkan dasar yang kokoh bagi implementasi penuh dan efektif dari Persetujuan melalui finalisasi aspek teknis dan kelembagaan dari Persetujuan.
Peran Indonesia Dalam RCEP
Indonesia merupakan inisiator RCEP ketika menjadi pemimpin ASEAN pada tahun 2011. Melalui berbagai perundingan yang dilakukan sejak Tahun 2013 hingga penandatanganan 15 November 2020 lalu, Indonesia memiliki peran penting karena menjadi Ketua TNC (Trade to Negotiation Committee) atau Komite Perundingan Perdagangan yang membawahi 16 negara untuk mencapai kesepakatan antar pihak sebelum RCEP ditandatangani oleh 15 negara.
Sebagai inisiator dan koordinator perundingan Perjanjian RCEP peran Indonesia tidaklah mudah. Selama 8 tahun perundingan, Indonesia harus memadukan antara kepentingan Indonesia, ASEAN, dan negara lain yang bergabung dalam RCEP. Upaya besarnya adalah mengkonsolidasikan 5 menjadi satu perjanjiannya besar. Selain mengedepankan kepentingan NKRI, Indonesia juga berkepntingan dalam mengamankan kepentingan ASEAN dalam RCEP.
Pada tahun 2020, ASIAN Development Bank membuat sebuah kajian Regional Comprehensive Economic Partnership: Overview and Economic Impact yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu Negara ASEAN yang akan memperoleh keuntungan signifikan melalui RCEP di tahun 2030 dengan pendapatan sebesar 2.192 miliar dolar AS.[3]
Jika nantinya Indonesia sudah meratifikasi RCEP, persoalan yang harus dihadapi dunia industri dan perdagangan kita tidaklah mudah. Beberapa langkah yang perlu diambil adalah memperkuat daya saing industri dan perdagangan. Awal 2022 lalu Presiden Jokowi menyebut tingkat daya saing Indonesia versi IMD World Competitiveness naik tiga peringkat dibanding tahun lalu, tetapi masih berada di bawah beberapa negara ASEAN.
Peluang Jasa Profesi Hukum oleh WNA di Indonesia Berdasarkan RCEP
Berdasarkan komitment perjanjian RCEP sebagaimana diatur dalam Annex 8C (Jasa Profesional), masing-masing negara wajib berusaha untuk memfasilitasi perdagangan jasa profesional, termasuk dengan mendorong badan-badan terkait di wilayahnya untuk mengadakan negosiasi untuk kesepakatan atau pengaturan tentang pengakuan.
Komitment perjanjian RCEP mengharuskan setiap negara berkonsultasi dengan badan-badan terkait di wilayahnya untuk mengidentifikasi jasa profesional di mana dua atau lebih Pihak saling tertarik untuk mengadakan dialog tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pengakuan kualifikasi profesional, perizinan, atau pendaftaran, termasuk mengakui kualifikasi profesional dan memfasilitasi prosedur perizinan atau pendaftaran. Beberapa profesi sudah melakukan mutual recognition agreement (“MRA”) seperti profesi akuntan (seperti yang penulis miliki saat ini sebagai ASEAN Certified Professional Accountant yang dapat berpraktik di seluruh negara ASEAN) juga ASEAN Engineering.
Secara khusus bagi profesi lawyer, peluang untuk advokat asing berpraktik di Indonesia terbuka lebar. Namun sesuai perjanjian RCEP setiap negara harus berkoordinasi dengan badan-badan yang relevan untuk meratifikasinya menjadi aturan internal badan-badan tersebut. Dalam Pasal 1 angka 8 UU Advokat, dijelaskan bahwa advokat asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan. Advokat asing wajib memperoleh izin kerja dari Menteri Ketenagakerjaan dan hanya dibatasi untuk menangani bidang hukum tertentu seperti Hukum dari negara asalnya; dan/atau Hukum Internasional di bidang bisnis dan arbitrase serta penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya.
Untuk berpraktik di pengadilan dan membuka kantor hukum di Indonesia Advokat asing masih dilarang. Mereka hanya diperbolehkan bekerja sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing di kantor advokat Indonesia. (Pasal 13 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Pasal 19 Permenkumham Nomor 26 Tahun 2017). Jadi ruang lingkup advokat asing di Indonesia masih sangat terbatas, apalagi perbandingan jumlah advokat asing yang diperbolehkan hanya sebanyak 1 berbanding 4. Hal demikian mengacu pada Pasal 3 Permenkumham Nomor 26 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Tata Cara Mempekerjakan Advokat Asing Serta Kewajiban Memberikan Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Dunia Pendidikan dan Penelitian Hukum. Meskipun aktivitas advokat asing di Indonesia masih terbatas, namun tidak menutup kemungkinan kalau dalam perkembangannya advokat asing bisa saja diperbolehkan mendirikan kantor hukum atau berpraktik di pengadilan Indonesia. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly bahwa “tidak ada jaminan kebijakan pemerintah yang masih menutup pintu bagi advokat asing akan selamanya dipertahankan, mengingat era pasar bebas dan globalisasi sekarang”.[4]
Prinsip Nondiskriminasi Dalam RCEP
Tujuan dari perjanjian RCEP ini sebagaimana tercantum pada Article 1.3.c adalah secara progresif meliberalisasi perdagangan jasa di antara Para Pihak dengan cakupan sektoral yang substansial untuk mencapai penghapusan substansial dari pembatasan dan tindakan diskriminatif sehubungan dengan perdagangan jasa di antara Para Pihak. Berdasarkan pernyataan tersebut maka prinsip nondiskriminasi sudah diakui di depan dan berlaku secara menyeluruh pada perjanjian RCEP ini.
Kemudian dalam penjelasan lebih lanjutnya prinsip nondiskriminasi ini diatur lebih lanjut dalam Article 4.5 tentan Transparency, yaitu: Setiap Pihak harus segera mempublikasikan, di internet sejauh mungkin, informasi berikut dengan cara yang non-diskriminatif dan mudah diakses untuk memungkinkan pemerintah, pedagang, dan orang lain yang berkepentingan untuk mengenal mereka.
Apabila suatu Pihak memerlukan otorisasi untuk penyediaan layanan terkait dengan perjanjian RCEP ini, Pihak tersebut harus memastikan bahwa otoritas yang berwenang di negara masing-masing meyelesaikan prosedur aplikasi yang relevan adalah wajar, transparan, dan tidak dengan sendirinya membatasi penyediaan layanan. Termasuk biaya yang dibebakan tidak diskriminatif untuk memberikan konsesi, atau kontribusi yang diamanatkan untuk penyediaan layanan universal (Article 8.15: Domestic Regulation).
Penerapan prinsip nondiskriminasi diatur secara jelas dalam chapter 10 tentang investasi, yaitu: Tindakan pengaturan non-diskriminatif oleh suatu Pihak yang dirancang dan diterapkan untuk mencapai tujuan kesejahteraan publik yang sah, seperti perlindungan kesehatan masyarakat, keselamatan, moral publik, lingkungan, dan stabilisasi harga real estat, bukan merupakan pengambilalihan.
Pengaturan anti-dumping dalam RCEP
Pengaturan anti-dumping diatur secara khusus dalam Chapter 7 tentang Trade Remedies terutama dalam Annex 7A (Practices Relating to Anti-Dumping and Countervailing Duty Proceedings). Namun dalam pengaturan umum juga sudah disebutkan dengan jelas larangan anti dumping ini, yaitu dalam Article 2.20 tentang Fees and Formalities Connected with Importation and Exportation, yang pada intinya setiap Pihak harus memastikan tidak terjadi praktik anti-dumping sesuai dengan Pasal VIII GATT 1994.
Dalam Section B tentang anti-dumping and countervailing duties, kususnya dalam Article 7.11, ketentuan umum mengenai pengaturan anti-dumping adalah
- Para Pihak mempertahankan hak dan kewajibannya berdasarkan Pasal VI GATT 1994.
- Dalam setiap proses di mana otoritas investigasi dari suatu Pihak memutuskan untuk melakukan investigasi di tempat untuk memverifikasi informasi yang diberikan oleh responden dan terkait dengan penghitungan margin bea masuk anti-dumping atau tingkat subsidi yang tersedia, otoritas investigasi harus segera memberi tahu responden tentang niat mereka.
- Otoritas investigasi suatu Pihak harus menyimpan file non-rahasia untuk setiap investigasi dan peninjauan
- Selama investigasi atau peninjauan, otoritas investigasi suatu Pihak harus menyediakan file non-rahasia dari investigasi atau peninjauan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Peluang Investasi Asing di Indonesia Berdasarkan RCEP
Secara umum, terdapat sejumlah potensi manfaat yang dapat diraih Indonesia melalui RCEP, antara lain yaitu: i) terbukanya akses pasar barang, jasa, dan investasi di negara mitra melalui pengurangan hambatan ekspor baik tarif maupun nontarif, serta reformasi ekonomi yang dilakukan di masingmasing negara sehingga berdampak positif pada peningkatan daya saing; ii) menciptakan lingkungan usaha yang business friendly, adil dan fasilitatif; iii) mendorong tumbuhnya industri dalam negeri sebagai bagian dari Global Value Chain (GVC), serta mendorong Regional Production Network dan Regional Value Chain (RVC); dan iv) meningkatkan aliran investasi langsung. Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa secara historis negara yang berperan cukup besar dalam GVC akan mengalami peningkatan aliran investasi asing langsung ke negara tersebut. Untuk itu, Indonesia perlu memastikan agar seluruh pelaku usaha, termasuk pelaku UMKM, siap dan mampu bersaing untuk memanfaatkan peluang RCEP, termasuk menjadi bagian dari GVC atau RVC.
Dalam RCEP pengaturan mengenai terbukanya pelaung investasi ini terdapat dalam Chapter 2 tentang Trade in Goods, terutama dalam Section A: general provisions and market access for goods. Komitmen setiap nengara, termasuk Indonesia tercantum jelas dalam Article 8.3: Scheduling of Commitments.
Dalam Article 8.5 yang mengatur sepesifik tentan Market Access, setiap Pihak yang membuat komitmen market access harus memberikan layanan dan pemasok layanan dari Pihak lain mana pun. Setiap Pihak tidak boleh mengadopsi atau mempertahankan baik berdasarkan subdivisi regional atau atas dasar seluruh wilayahnya, baik di sektor-sektor di mana komitmen akses pasar dilakukan dan sesuai dengan komitmen. Dengan keterbukaan pasar ini maka potensi invetasi yang masuk ke Indonesia akan terbuka lebar. RCEP menciptakan peluang bagi industri Indonesia dalam memanfaatkan regional value chain di Kawasan. RCEP diprediksi akan mendorong efisiensi dalam mendapatkan input dan mengalokasikan produk ekspor ke 15 negara anggota RCEP lainnya karena berkurangnya hambatan tarif dan non-tarif. Selain itu, Perjanjian RCEP juga menyepakati langkah-langkah penyederhanaan aturan asal barang yang ada sehingga hanya terdapat satu aturan asal barang untuk ekspor ke 15 Negara anggota RCEP lainnya.
Keikutsertaan Indonesia Dalam RCEP Dibandingkan Dengan CPTPP
Pada Maret 2018, sebelas negara menandatangani kerja sama antarnegara Asia-Pasifik. Sebelas negara tersebut membentuk perjanjian baru, yakni The Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership/CPTPP. Sebelas negara itu, antara lain Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam. Awalnya, TPP terdiri dari 12 negara. Namun tiba-tiba Amerika mundur dengan alasan untuk melindungi lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.
Meski negara-negara lainnya di Kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Myanmar, Brunei Darussalam dan Vietnam telah bergabung ke CPTPP, namun Indonesia belum berminat bergabung. Hal ini disebabkan Indonesia harus mempersiapkan industri dalam negeri agar bisa berkompetisi dengan negara lain. Indonesia tidak bergabung dalam CPTPP karena Bagi Indonesia berdirinya RCEP merupakan proses alamiah setelah ASEAN Economic Community terbentuk pada 2015, yaitu dengan mengkonsolidasikan ASEAN+1 FTAs yang sudah ada saat ini. Pertimbangan lain adalah bahwa sejumlah isu yang dibahas di dalam TPP belum menjadi prioritas utama bagi Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga berkomitmen mendorong pelaksanaan perundingan RCEP serta meyakini bahwa kehadiran RCEP dapat mendatangkan kentungan karena akan membuat neraca perdagangan meningkat positif.
Dalam pernyataannya Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berencana untuk bergabung dengan perjanjian TPP, kemampuan Indonesia untuk memenuhi standar CPTPP sekarang masih jauh dari kenyataan. Secara skala prioritas Indonesia lebih fokus meratifikasi perjanjian RCEP. Pembahasan ratifikasi RCEP telah berjalan, namun kesepakatan tersebut masih memerlukan persetujuan paripurna dari seluruh stakeholder. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai Indonesia belum siap bergabung dengan Kerja Sama Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership dalam waktu dekat. Indonesia baru bisa bergabung dengan perdagangan bebas yang dimotori Amerika Serikat (AS) itu paling cepat pada 2022. Saat ini, pemerintah masih mengkaji kemungkinan mengikuti blok perdagangan tersebut.[5]
[1] https://ditjenppi.kemendag.go.id/assets/files/publikasi/doc_20191215_selayang-pandang-rcep.pdf diakses pada 1 Juni 2022
[2] https://asean.org/regional-comprehensive-economic-partnership-rcep-to-enter-into-force-on-1-january-2022/ diakses pada 1 Juni 2022
[3] https://akurat.co/menilik-peran-indonesia-dalam-rcep diakses 1 Juni 2022
[4] Republika.co.id diakses 3 Juni 2022
[5] https://kemenperin.go.id/artikel/14462/Indonesia-Belum-Siap-Ikut-TPP diakses 2 Juni 2022