Menjadi Pemain Global Membutuhkan Global Mindset
March 11, 2017 2 Comments
Suatu Permenungan bagi Pencari Kerja dan Pekerja di Bidang Akuntansi dan Bisnis
Oleh: Harry Andrian Simbolon., SE., MAk., QIA., Ak., CA., CPA., CMA
Saat ini departemen saya kedatangan mahasiswa magang dari Singapore Institute of Management dual degree dengan Royal Melbourne Institute of Technology Australia. Beberapa waktu yang lalu kami juga menerima mahasiswa magang dari Southampton University United Kingdom. Ditambah lagi dengan penerimaan karyawan baru dua bulan lalu, dari 12 calon karyawan yang diwawancarai ada 5 diantaranya yang merupakan lulusan luar negeri. Serangkaian peristiwa ini membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran minat mahasiswa dan pencari kerja di Perusahaan kami seiring dengan semakin meningkatnya value Perusahaan di mata masyarakat.
Sejak perusahaan kami menyatakan melangkah ke phase two point 0 (2.0) beberapa waktu lalu, Perusahaan mendefinisikan kembali visi, misi dan nilai-nilai perusahaan. Visi yang diusung tidak lagi sekedar menjadi pemain regional tetapi menjadi word class digital company. Pun demikian misi perusahaan ditetapkan ulang melebihi ekspektasi pelanggan bahkan sebagai value creation dalam mendukung perekonomian negara. Enabler-nya adalah menata ulang budaya perusahaan agar siap menghadapi visi dan misi tersebut. Perubahan ini berdampak sangat besar dalam seluruh aspek di dalam Perusahaan, tidak terkecuali dalam bidang tugas saya di akuntansi.
Menjadi pemain global berarti harus merangkul globalisasi itu sendiri masuk dan mendarah daging dalam sikap dan perilaku. Menjadi tidak lagi sekedar telecommunication company (telco) tetapi digital company (dico) berarti harus siap dengan dunia digital yang tidak lagi mengenal batas dan inklusifitas. Diversities merupakan suatu keniscayaan, kompetisi tidak terlalu diagungkan lagi tetapi lebih mengedepankan kolaborasi dan inovasi.
Saya belajar banyak hal mengenai luasnya jangkauan ilmu pengetahuan dari beberapa konsultan, baik dalam negeri maupun konsultan internasional yang pernah digunakan jasanya di Perusahaan kami. Perbedaan budaya terbukti menjadi aset besar dalam pergaulan internasional, dan bagaimana profesionalisme menjadi panglima dibandingkan sekat-sekat suku agama ras dan antargolongan (SARA). Bahkan terkadang saya juga bingung sendiri melihat kenyataan bagaimana mungkin seorang pemegang paspor Inggris kuliah di jurusan sastra cina bisa memiliki Certified of Global Management Accountant dan menjadi konsultan di perusahaan konsultan bisnis nomor wahid dunia.
Saat ini istilah global citizen semakin mengemuka, bola bundar ini seperti tanpa batas lagi. Beberapa waktu lalu kami berkesempatan mengundang Ayesha Khanna berbagi pengalaman di kantor. Dia adalah seorang ibu rumah tangga, lahir di Pakistan, menyelesaikan S2 di Harvard University dan Columbia University, selanjutnya S3 di London School and Economics, bekerja di Wall Street, menetap di Singapura bahkan menjadi penasehat pendidikan pemerintah Singapura, dia juga menjalankan bisnis digital, utamanya di bidang financial technology (fintech) dan data analytic di beberapa belahan dunia. Dialah yang disebut dengan global citizen itu. Seorang yang bekerja untuk dunia, berkontribusi bagi kemajuan peradaban dunia, bukan lagi terbatas pada satu institusi atau satu negara saja.
Beberapa paradox di atas merupakan pengantar bagi para pembaca tulisan ini bahwa persaingan global sudah di pelupuk mata. Kita harus membuka wawasan kita jauh kedepan, membentangkan horizon berpikir kita melewati batas-batas latar belakang kita.
Dalam suatu perbincangan dengan teman masa kecil saya, dia seorang bankir kawakan, jam terbangnya sudah sangat tinggi, minimal dibuktikan dari foto-foto yang selalu dipajangnya di medsosnya, dia berencana mengambil doktor ekonomi di kampus ternama di Jakarta. Melihat pencapaiannya ini, sangat susah bagi saya untuk tidak mengacungkan dua jempol saya baginya. Pergumulannya saat ini adalah apakah dia akan meninggalkan pekerjaannya di luar kota demi kuliah lagi ditambah tawaran mengajar di beberapa kampus ternama juga. Ketika saya sarankan untuk pindah ke bank swasta di Ibukota yang tentunya pasti sangat membutuhkan kompetensinya, jawaban yang keluar darinya sungguh sangat diluar dugaanku, dia tidak siap bekerja di bank swasta yang banyak karyawan “sipitnya” yang menurutnya banyak diskriminasinya. Hey come on, tidak ada profesionalisme yang dibayar dengan murah. Jika kita tidak mampu keluar dari area nyaman kita maka hanya tinggal menunggu waktu maka waktu itu sendiri yang akan “menelan” kita.
Terlebih bagi adik-adik mahasiswa akuntansi atau yang baru saja lulus. Kalian harus tahu bahwa banyak warga Indonesia yang kuliah di luar negeri itu milihnya jurusan accounting & finance, pola berpikir mereka masih sangat pragmatis, yaitu hanya karena alasan lulusannya gampang cari kerja. Dan mayoritas dari mereka saat ini kuliah ke luar negeri bukan lagi karena sekedar pintar, tetapi karena orangtuanya punya uang. Mereka memiliki nilai lebih dalam hal kemampuan bahasa inggris dan global experience/perspective. Yang mau saya katakan disini adalah saingan kalian banyak. Siapkah kalian bersaing dengan mereka di bursa tenaga kerja? Terus terang dengan kondisi sekarang ini jika saya dalam posisi pemberi kerja saya akan memilih pekerja yang memiliki global mindset.
Jika merujuk pada kondisi di atas, saya jadi miris dengan mahasiswa dari kampus yang tidak terlalu terkenal seperti saya ini, atau bagi mereka yang kemampuannya sedang-sedang saja; Bagaimana masa depan mereka nanti? Akan jadi apa mereka nantinya? Apakah PNS saja yang bisa mereka handalkan menjadi pekerjaan impian mereka? Kita harus sadar dengan kondisi ini, bursa tenaga kerja yang sekarang ini semakin menuntut profesionalisme dan sudah mengaburkan pengaruh almamater (meski terkadang juga masih menjadi rujukan), oleh karena itu kinilah saatnya kita bersaing secara fair, tingkatkan kompetisi kalian sedini mungkin, dan teruslah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Lalu bagaimana dengan pekerja eksisting sekarang menghadapi kondisi ini? Cukupkah kita hanya dengan bekerja baik saja? Saya katakan tidak. Karyawan-karyawan baru yang kita kenal dengan kaum millennials ini memiliki kemampuan tumbuh kembang secara exponential. Jika kita lamban atau cukup puas dengan kondisi sekarang, maka tak lama lagi mereka akan menyalip kita atau bahkan menjadi atasan kita. Dari sisi pemberi kerja tentu akan lebih nyaman bagi mereka mempekerjakan karyawan yang memiliki semangat kerja tinggi dan memiliki kemampuan lebih atau dua kali lipat dari pekerja eksisting. Maka tak bisa dipungkiri jika senioritas dalam suatu organisasi akan menjadi tidak berarti lagi nantinya.
Dalam beberapa kesempatan menghadiri forum bisnis, saya mengaminkan kenyataan ini. Saya melihat sendiri beberapa fungsi manajemen bawah dan menengah diisi oleh tenaga kerja asing terutama dari India dan Filipina. Jabatan-jabatan managerial tingkat menengah bahkan sudah dipercayakan bagi fresh graduate dari universitas luar negeri. Keahlian mereka sangat layak diacungkan jempol, didukung dengan tingkat kepercayaan diri mereka yang sangat tinggi.
Masihkah kita berpangku tangan dengan kenyataan ini? Mari kita gugah diri kita sendiri, kita buat diri kita gelisah dengan kondisi sekarang ini. Seperti disruptive dalam teknologi informasi yang malah menghasilkan banyak bisnis dan kesempatan baru, seperti itulah kita seharusnya bermetamorfosis. Mari kita mulai permenungan ini, semoga semakin baik di masa yang akan datang.
Tulisan yang sangat bagus buat para akuntan muda sehingga siap dalam menyongsong era global dgn membekali diri dgn kompetensi dan menjadi TALENT yang siap dalam persaingan global.
Pak Guntur, tulisan ini juga menjadi alert bagi kita karyawan yang tidak termasuk muda lagi.