IFRS dan Sharing Economy
September 10, 2017 Leave a comment
Oleh: Harry Andrian Simbolon., SE., MAk., QIA., Ak., CA., CPA., CMA., CIBA
Konvergensi standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standards (IFRS) (sebelumnya International Accounting Standard (IAS)) oleh Indonesia adalah suatu yang tidak dapat dihindarkan lagi karena sudah disepakati dalam forum G20. Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah mengambil sikap hanya satu tahun gap adopsi IFRS menjadi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), artinya semua IFRS jika sudah berlaku efektif maka tahun depannya PSAK nya juga berlaku di Indonesia. Ketika proses konvergensi ini mulai digelorakan sejak satu dekade lalu, perlahan demi perlahan kekawatiran para pelaku bisnis dapat diatasi karena terjadi perubahan mendasar dari rule-based menjadi principle-based, artinya akuntansi tidak menjadi sesuatu ilmu yang kaku lagi, penuh dengan aturan yang rigid, dan bersifat pelaporan historis. Sekarang akuntansi kental dengan sentuhan pertimbangan, asumsi dan estimasi oleh manajemen, sepanjang didukung oleh analisa yang relevan. Disinilah letak permasalahannya, untuk menyediakan dukungan analisa ini, karena keterbatasan kemampuan dan kecakapan personil, manajemen membutuhkan jasa profesional yang ahli dibidangnya.
Konsep nilai wajar dalam IFRS adalah istilah yang pertama sekali menjadi kekawatiran para akuntan. Selama ini akuntan tahunya hanya melaporkan transaksi historis yang pernah dicatat sebelumnya, namun sekarang diharuskan melaporkan dengan nilai wajar. Wajar yang seperti apa? Bagaimana menghitungnya? Apa dasar perhitungannya? Inilah beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan nilai wajar. Meskipun IFRS 13 (fair value measurement) memberikan panduan dalam menentukan nilai wajar namun tetap saja dibutuhkan keahlian dan kecakapan untuk menghitungnya. Bahkan IFRS sendiri merujuk pada penggunaan jasa penilai atau appraisal. Dahulu jasa appraisal yang kita kenal adalah appraisal bisnis, yaitu menilai suatu perusahaan, unit bisnis, bentuk usaha, dll berdasarkan skala ukuran tertentu untuk keperluan due diligent (IFRS 3, business combination). Sekarang justru banyak menjamur jasa appraisal khusus menilai nilai wajar aset.
Demikian juga dengan jasa aktuaris, sebelum IAS 19 (employee benefit) diadopsi menjadi PSAK 24 banyak perusahaan yang melakukan perhitungan kewajiban manfaat karyawan sendiri karena dianggap tidak begitu kompleks, namun setelah IAS tersebut diadopsi, mau gak mau perusahaan mempercayakan perhitungannya oleh jasa aktuaris. PSAK 24 mengharuskan perusahaan mengestimasi kewajiban masa kini perusahaan atas manfaat-manfaat masa depan yang pernah dijanjikan kepada karyawannya. Untuk melakukan perhitungan ini dibutuhkan keahlian matematika dan statistika yang cukup tinggi yang tak banyak dimiliki oleh perusahaan. Aktuaris juga sangat dibutuhkan dalam penerapan IFRS 17 (insurance contracts). Menghadapi fonomena ini, profesi aktuaris pun laku keras, bahkan telah dibuka program studi aktuaria di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Kekawatiran terbesar para pelaku usaha saat ini adalah persiapan implementasi IFRS 15 (revenue from contracts with customers) dan IFRS 16 (leases). Meskipun kedua standar tersebut belum berlaku efektif, bahkan adopsi PSAKnya pun kedalam PSAK 72 dan PSAK 73 masih belum disahkan hingga saat ini, namun upaya untuk menerapkan kedua standar ini sudah sangat banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan terdampak. Bayangkan saja IFRS 15 meminta perusahaan memisahkan pendapatannya berdasarkan lini produknya/layanannya, untuk melakukan hal tersebut bukanlah perkara mudah, apalagi bagi perusahaan besar dengan volume transaksi besar yang juga banyak melakukan perubahan skema penjualan dan bundling produk. Perusahaan-perusahaan tersebut harus mengubah proses bisnis hingga meng-upgrade enterprise resource planning (ERP) yang dimilikinya. Saya memperkirakan akan banyak sekali konsultan yang diperlukan untuk implementasi IFRS 15 ini, diantaranya konsultan yang melakukan impact analysis, konsultan yang melakukan tahap design solution, konsultan yang melakukan upgrade proses bisnis, konsultan yang mempersiapkan workaround solution, konsultan yang membuat calculator engine, system interrogator atas ultimate solution dan konsultan change management. Bayangkan, begitu banyak bisnis yang tercipta dari penerapan satu standar akuntansi ini saja, berapa nilai uang yang harus dikeluarkan perusahaan untuk membayar semua konsultan-konsultan itu? Silahkan perkirakan sendiri, yang jelas tidak sedikit nilainya.
IFRS 16 pun memiliki dampak yang sangat besar bagi suatu perusahaan. Sebelumnya PSAK 30 memisahkan sewa berdasarkan sewa operasi dan sewa pembiayaan, sewa operasi dibebankan ke laba rugi sedangkan sewa pembiayaan dikapitalisasi sebagai aset dan diakui kewajiban kininya. Jika IFRS 16 diterapkan maka semua sewa harus dikapitalisasi. Dampak utamanya dalam laporan keuangan adalah nilai aset dan nilai kewajiban perusahaan akan melonjak drastis sehingga rasio-rasio keuangan juga berubah drastis. Apa yang terjadi bagi perusahaan rental mobil yang memiliki unit ribuan mobil dibawah kontrak sewa, atau perusahaan telekomunikasi yang memiliki ratusan ribu tower sewa, hal yang sama juga terjadi di perusahaan penerbangan dan properti. Perusahaan-perusahaan tersebut harus memiliki calculator engine untuk menghitung nilai aset dan kewajiban sewa dengan presisi. Sejauh ini sepanjang pengamatan saya ERP besar seperti Oracle dan SAP belum memiliki solusi untuk ini, itu artinya perusahaan harus memikirkan ultimate solution lainnya, baik beli jadi atau custom sendiri, jika belum siap maka perlu dipikirkan juga interim solution untuk menanganinya, demikian juga konsultan yang terlibat dalam proses pendampingan, blueprinting, hingga implemetasinya. Atas semua kebutuhan tersebut nilainya pun juga akan sangat fantastis. Akibat melonjaknya kewajiban perusahaan akibat kapitalisasi aset sewa ini maka sudah pasti Debt to Equity Ratio (DER) akan meningkat juga. Bayangkan jika sebelum IFRS 16 DER suatu perusahaan adalah 1,8 kali, setelah IFRS 16 DER menzingkat menjadi 4,7 kali, sementara covenant bank loan maksimum 2,5 kali, sudah pasti perusahaan harus merestrukturisasi/amandemen kontak-kontrak pinjamannya agar tidak wanprestasi. Diperlukan lah lagi jasa notaris, jasa lawyer, dll. Extra effort lagi bukan?
Kedepannya trend monetasi bisnis akuntansi ini diperkirakan akan terus berlanjut. Untuk menghasilkan laporan keuangan tidak hanya mengandalkan profesi akuntan tapi juga profesi-profesi lainnya. Profesi-profesi itu pun akan terus tumbuh subur sepanjang standar akuntansi berpihak pada bisnis. Jasa outsourcing akuntansi akan menjadi jalan pintas yang dipilih perusahaan jika tidak mau report dengan segala kompleksitas yang ada, tinggal menyuruh pihak ketiga menangani semua masalah pembukuan hingga pelaporannya. Demikian juga jasa konsultan dan penasehat (advisory) bisnis akan laku keras nantinya. Perusahaan-perusahaan besar tentunya tidak mau data perusahaan mereka menjadi konsumsi publik, sementara mereka sendiri tidak mampu menghadapinya seorang diri, oleh karena itu pilihan menggunakan konsultan dan penasehat bisnis lebih masuk akal untuk mendampingi mereka. Yang mau saya tekankan disini adalah maju kena mundur pun kena, apapun pilihannya tetap saja ada cost yang keluar.
Selainnya profesi-profesi yang disebutkan beberapa profesi lainnya yang akan diperlukan antara lain konsultan pajak untuk membantu tax planning perusahaan serta administrasi pajak lainnya (IAS 12); konsultan hukum untuk mengestimasi nilai kontijensi yang dimiliki perusahaan (IAS 37); geolog untuk menilai cadangan minyak bumi, gas dan mineral (IFRS 6); arsitek dan konsultan bangunan untuk menilai progress pekerjaan (IFRS 15); ahli perkebunan dan ahli ternak untuk mengestimasi nilai wajar aset biologi (IAS 41); ahli komputer untuk mengelola sistem akuntansi dan mengestimasi nilai intangible asset dari website (IFRS 1 dan SIC 32); matematikawan untuk menghitung klasifikasi financial instrument (IFRS 9); hingga ekonom untuk menganalisa dampak inflasi (IAS 29).
Fenomena ini menjelaskan kepada kita bahwa telah tercipta sharing economy disini, akuntan tentunya tidak mampu melakukan semuanya itu dengan sendiri, kolaborasi dengan profesi lainnya sangat dibutuhkan demi terciptanya laporan keuangan yang handal dan terpercaya untuk memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan.